Rabu, 05 Oktober 2016

Sekolah, Sekedar Formalitaskah?

Sekolah, Sekedar Formalitaskah?

Pernahkah anda berfikir apa tujuan anda sekolah?
Sudahkah anda menemukan jawabannya?

Sekolah merupakan tempat didikan bagi anak anak yang bertujuan mengajarkan anak untuk menjadi generasi penerus yang bisa memajukan bangsa. Kata sekolah tersebut berasal dari Bahasa Latin: skhole, scola, scolae atau skhola yang memiliki arti : waktu luang atau waktu senggang, dimana ketika itu sekolah adalah kegiatan di waktu luang bagi anak di tengah kegiatan utama mereka (bermain dan menghabiskan waktu untuk menikmati masa anak-anak dan remaja). Kegiatan dalam waktu luang itu adalah mempelajari cara berhitung, cara membaca huruf, mengenal tentang moral (budi pekerti), estetika, dll.

Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sekolah merupakan bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran (menurut tingkatannya). Jadi, sekolah adalah salah satu media untuk anak memperoleh pendidikan. Di sekolah, anak bisa bersosialisasi dengan teman-temannya dan juga bisa bertanya apa yang ingin diketahui kepada gurunya. Sekolah bukan hanya tempat mencari ijazah, sekolah bukan hanya tempat mencari nilai. Melainkan sekolah adalah tempat untuk belajar, mempelajari beberapa mata pelajaran, belajar mengenai kehidupan sosial, dan belajar mengenai hidup. Sekolah adalah tempat untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan yang baru.

Tapi, mengapa masih ada saja yang sulit atau bahkan enggan untuk bersekolah? Ada saja yang tidak mengenyam bangku sekolah, berbagai macam alasan pun muncul terutama alasan “ekonomi”. Rakyat Indonesia khususnya, masih banyak yang ekonominya masih berada di bawah garis kemiskinan, bagi mereka, jangankan untuk biaya sekolah, makan sehari sekalipun sulit. Lalu siapa yang mesti bertanggung jawab jika itu alasannya? Bukankah pemerintah telah memberikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan menggratiskan biaya beberapa sekolah yang dibawah naungan pemerintah (sekolah negeri), masih banyak juga program pemerintah yang lain untuk mengajak anak Indonesia untuk bersekolah. Orangtua yang kurang mampu tetap masih berpikir, memang sekolah itu gratis, tetapi masih ada kebutuhan anak lainnnya untuk sekolah, seperti seragam, buku, alat tulis ataupun uang saku.

Sungguh sangat disayangkan, di balik semua alasan yang mempersulit anak yang kurang mampu untuk sekolah, masih banyak anak yang beruntung bisa bersekolah namun menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Saya sempat bingung, siswa yang sekolah pun ada saja yang menganggap sekolah hanya “formalitas”. Sekolah sekedar diperintah orangtua? Sekolah hanya karena ikut-ikutan? Sekolah karena malu jika tidak sekolah? Salah besar, itu hanya menghambat kemajuan pola berpikir siswa tersebut dan bisa menyebabkan hal-hal yang buruk. Entah datang terlambat, tidak mengerjakan tugas, membenci guru, dll. Saya pernah mendengar perkataan guru saya yang seperti ini “cintai gurunya jika ingin mudah menerima materi yang diajarkan”, ternyata itu sangat mempengaruhi siswa dalam menerima pelajaran. Jika tidak menyukai gurunya, pasti pelajarannya pun tidak akan mudah diterima dan diserap oleh siswa. Jangankan menerima pelajaran tersebut, mungkin yang ada di pikiran siswa hanyalah memikirkan kapan jam pelajaran tersebut selesai dan itu bisa membuyarkan kefokusan siswa selama pelajaran berlangsung.

Bahkan ada beberapa siswa yang memegang prinsip “ datang, duduk, lulus”, lho? Untuk apa? Tidakkah mubazir membuang waktu, pikiran, bahkan uang orang tua yang telah dikeluarkan dengan jumlah yang tidak sedikit untuk kita bisa sekolah? Inilah yang mesti dirubah, pola pikir anak yang menganggap sekolah hanya untuk mendapatkan ijazah. Memang benar, setelah lulus siswa akan mendapatkan ijazah, namun ilmu apa yang didapatkan di sekolah itu jauh lebih penting daripada hanya sekedar lembaran ijazah tanpa ada bekal yang diterima siswa selama belajar di sekolah tersebut. Mungkin, orangtua dan guru di sini memegang peran penting dalam merubah pola pikir siswa yang masih belum mengerti apa tujuannya bersekolah dan apa manfaat yang didapatkan selama ia bersekolah.

Di Indonesia, pemerintah berencana menggalakan prinsip wajib belajar 12 tahun. Seperti yang diucapkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan “tugas pemerintah memberikan fasilitas seperti Kartu Indonesia Pintar maupun menyediakan berbagai akses ke sekolah. Maka tugas semua anak adalah melaksanakan wajib belajar 12 tahun”. Untuk menerapkan wajib belajar 12 tahun, kata Anies, pertama harus disusun Undang-undang Wajib Belajar 12 tahun. Setelah itu baru nanti disusun implementasi seperti apa. Kalau wajib belajar 12 tahun diberlakukan, maka semua anak usia sekolah wajib melaksanakan wajib belajar 12 tahun. Jika tidak sekolah, anak akan diberi sanksi. Kita semua harus menyadari betapa pendidikan itu teramat penting bagi kemajuan dalam hidup seseorang atau bahkan kemajuan bangsa dan negara.

Suyanto (1993:9), memandang pendidikan sebagai sarana intervensi kehidupan dan agen pembaharu. Sedangkan, Dedi Supriadi (1993:7), meyakini pendidikan sebagai instrumen untuk memperluas akses dan mobilitas sosial dalam masyarakat, baik vertikal maupun horisontal.

Program wajib belajar merupakan perwujudan dari pasal 31 UUD 1945 yang berisi (1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran, dan (2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang. Jadi, jika pemerintah saja sudah mengupayakan program wajib belajar untuk masyarakat, masyarakat itupun seharusnya lebih mempunyai kesadaran untuk menyekolahkan anak-anak mereka, meskipun terhambat oleh biaya, pasti pemerintah akan membantu meringankan semua kendala itu. Selain itu, pemerintah juga harus lebih memerhatikan kualitas sekolah, dimulai dari gedung, fasilitas, buku-buku, hingga kualitas guru-guru pengajar. Bukan hanya guru yang berlabelkan sarjana tinggi saja, tetapi siswa membutuhkan guru yang bisa menyampaikan pelajaran secara perlahan sehingga pelajaran itu dapat dimengerti oleh siswa tersebut.

Bicara mengenai anak sekolah, maka tak asing lagi dengan kata “tawuran”. Menurut Prof. Muhammad Mustofa, ahli kriminologi UI yang pernah meneliti tawuran pelajar di SMAN 6 Jakarta pada tahun 1990, tawuran pelajar adalah suatu peristiwa bentrokan fisik karena adanya konflik antar kelompok pelajar. Tawuran pelajar sudah menjadi “momok” dalam kehidupan bermasyarakat. Perilaku tawuran pelajar tersebut bukan hanya merugikan materiil, bahkan tak jarang menyebabkan melayangnya nyawa orang yang tidak bersalah. Tak tanggung-tanggung, kini remaja bisa bertawuran dengan membawa senjata yang tidak cuma-cuma, mereka bersenjatakan rantai, gear motor, bahkan hingga clurit pun mereka gunakan. Entah apa alasan mereka melakukan tawuran, hanya iseng kah? Atau justru ini salah satu pelampiasan mereka ketika jenuh dalam pelajaran sekolah? Masa siswa yang katanya “pelajar”, tetapi tidak menunjukkan sikap “terpelajar”.

Tidak sedikit siswa yang merasa jenuh dengan pembelajaran di sekolah, diantara mereka juga ada yang lebih suka untuk membolos dan jalan-jalan sesuka mereka, atau nogkrong-nongkrong di pinggir jalan. Mereka terlalu pusing dan lelah dengan pelajaran yang terlalu membebani siswa, bayangkan saja dalam seminggu matematika 6 jam pelajaran, belum lagi pelajaran lain seperti fisika, kimia, biologi, bayangkan bagaimana siswa tidak mumet dengan semua itu? Siswa butuh bimbingan, entah orangtua atau guru semestinya menuntun mereka agar tahu kemana mereka akan terarah dan apa yang seharusnya mereka lakukan. Jika sudah berstatus siswa atau pelajar, sebaiknya tunjukkan sikap dari diri seorang yang terpelajar, bukan justru seperti tidak diajar.

Lalu bagaimana dengan HomeSchooling? Dalam bahasa Indonesia, ada yang menggunakan istilah “sekolah rumah”. Ada juga orangtua yang secara pribadi lebih suka mengartikan homeschooling dengan istilah “sekolah mandiri”. Tapi nama bukanlah sebuah isu. Disebut apapun, yang terpenting adalah esensinya.

Salah satu pengertian umum homeschooling adalah sebuah keluarga yang memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anak-anak dan mendidik anaknya dengan berbasis rumah. Pada homeschooling, orang tua bertanggung jawab sepenuhnya atas proses pendidikan anak; sementara pada sekolah reguler tanggung jawab itu didelegasikan kepada guru dan sistem sekolah. selain mengajar sendiri, orang tua dapat mengundang guru privat, mendaftarkan anak pada kursus, dan sebagainya. Keberadaan homeschooling Indonesia telah diatur dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 27 ayat (10) yang berbunyi:
“Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri”
Sistem pendidikan anak melalui sekolah memang umum dan sudah dipraktekkan selama bertahun-tahun lamanya. Saat ini, pendidikan melalui sekolah menjadi pilihan hampir seluruh masyarakat. Tetapi sekolah bukanlah satu-satunya cara bagi anak untuk memperoleh pendidikannya. Sekolah hanyalah salah satu cara bagi anak untuk belajar dan memperoleh pendidikannya. Sebagai sebuah institusi/sistem belajar, sekolah tidaklah sempurna.
Jadi, apapun jenis sekolah, dimanapun sekolahnya, intinya yang paling penting, sekolah adalah tempat bersenang-senang. Lupakan obsesi kalian untuk memperoleh nilai tinggi, lupakan aksi contek-mencontek ketika ujian untuk memperoleh jawaban yang benar. Tetapi, jadikan sekolah itu nyaman dan menyenangkan dan bersekolah sebagai kegiatan rutin yang menyenangkan. Karena semua dimulai dari kenyamanan siswa dengan lingkungan sekolahnya.


Ingat, sekolah itu prioritas, bukan formalitas!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar