Mengenai pandangan al
Ghazali, para ilmuwan berpendapat bahwa ia bukan seorang filosof, karena ia
menentang dan memerangi filsafat dan membuangnya. Tentangan yang di lontarkan
al-Ghazali ini tercermin dari bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah, yakni
sebagai berikut :
”...sumber kekufuran
manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-nama filsuf besar seperti
Socrates, Epicurus, Plato, Aristoteles dan lain-lainnya ..., mereka mendengar
perilaku pengikut filsuf dan kesesatannya dalam menjelaskan intelektualitas dan
kebaikan prinsip-prinsipnya, ketelitian ilmu para filsuf di bidang geometri,
logika, ilmu alam, dan telogi ..., mereka mendengar bahwa para filsuf itu
mengingkari semua syari’at dan agama, tidak percaya pada dimensi-dimensi ajaran
agama. Para filsuf menyakini bahwa agama adalah ajaran-ajaran yang disusun rapi
dan tipu daya yang dihiasi keindahan ...”
Jikalau melihat ungkapan di
atas, terlihat bahwa al-Ghazali lebih tepat digolongkan dalam kelompok
pembangunan agama yang jalan pemikirannya didasarkan pada sumber ajaran Islam
yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Apabila memakai sumber lain dari Islam maka
sumber-sumber ini hanya dijadikan sebagai alat untuk maksud menghidupkan
ajaran-ajaran agama dan untuk membantu menerangi jalan menuju Allah SWT. Hal
ini dikuatkan dengan kitabnya Ihya’Ulum Ad-din. Dalam buku Tahafut al-Falasifah
al-Ghazali juga diterangkan tentang keremehan pemikiran-pemikiran filsafat.
Sehingga apakah mungkin filsafat justru menghukumi atas dirinya sendiri?
Al-Ghazali dengan beberapa kali menyatakan, bahwa tujuan penyusunan buku
tersebut untuk menghancurkan filsafat dan menggoyahkan kepercayaan orang
terhadap filsafat. Dari sinilah, apakah tepat orang yang menetapkan kegagalan
filsafat disebut sebagai seorang filosof?.
Dalam bukunya pula yang berjudul Munqiz min al-Dhalal, al-Ghazali mengelompokkan filsosof menjadi 3 (tiga) golongan :
Dalam bukunya pula yang berjudul Munqiz min al-Dhalal, al-Ghazali mengelompokkan filsosof menjadi 3 (tiga) golongan :
1.
Filosof Materialis (Dhariyyun)
Mereka
adalah para filosof yang menyangkal adanya Tuhan. Sementara itu, kosmos ini ada
dengan sendirinya.
2.
Filosof Naturalis (Thabi’iyyun)
Mereka
adala para filosof yang melaksanakan berbagai penelitian di alam ini. Melalui
penyelidikan-penyelidikan tersebut mereka cukup banyak menyaksikan
keajaiban-keajaiban dan memaksa mereka untuk mengakui adanya Maha Pencipta di alam
raya ini. Kendatipun demikian, mereka tetap mengingkari Allah dan Rasul-Nya dan
Hari berbangkit. Mereka tidak mengenal pahala dan dosa sebab mereka hanya memuaskan
nafsu seperti hewan.
3.
Filosof Ke-Tuhanan (Ilahiyun)
Mereka
adalah filosof Yunani, sperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Aristoteles
telah menyanggah pemikiran filosof sebelumnya (Materialis dan Naturalis), namun
ia sendiri tidak dapat membebaskan diri dari sia-sia kekafiran dan
keherodoksian. Oleh karena itu, ia sendiri termasuk orang kafir dan begitu juga
al-Farabi dan Ibnu Sina yang menyebarluaskan pemikiran ini di dunia Islam.
Dalam
bidang Ke-Tuhanan, al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahl al-bid’at dan
kafir. Kesalahan para filosof tersebut diterangkan oleh al-Ghazali dalam bukunya
Tahafut al-Falasifah, dan ia membaginya menjadi 20 bahagian, antara lain:
1.
Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini
azali,
2.
Membatalkan pendapat mereka bahwa akal ini
kekal,
3.
Menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa Allah
Pencipta alam semesta dan sesungguhnya alam ini diciptakan-Nya,
4.
Menjelaskan kelemahan mereka dalam membuktikan
Yang Maha Pencipta,
5.
Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan
dalil bahwa mustahil adanya dua Tuhan,
6.
Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak
mempunyai sifat,
7.
Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak
terbagi ke dalam al-jins dan al-fashl,
8. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah
mempunyai substansi basith (simple) dan tidak mempunyai mahiyah (hakikat),
9.
Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa
Allah mengetahui yang selain-Nya,
10.
Menjelaskan pernyataan mereka tentang al-dhar
(kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir),
11.
Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa
Allah mengetahui yang selain-Nya
12. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka dalam
membuktikan bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya,
13.
Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak
mengetahui juz’iyyat,
14. Menjelaskan pendapat mereka bahwa
planet-planet adalah hewan yang bergerak dengan kemauan-Nya,
15.
Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang
tujuan penggerak dari planet-planet,
16.
Membatalkan pendapat mereka bahwa
planet-planet mengetahui semua yang juz’iyyat,
17. Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan
bahwa mustahil terjadinya sesuatu di luar hukum alam,
18. Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia
adalah jauhar (substansi) yang berdiri sendiri tidak mempunyai tubuh,
19.
Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan
tentang mustahilnya fana (lenyap) jiwa manusia,
20. Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan
bahwa tubuh tidak akan dibangkitkan dan yang akan menerima kesenangan dalam
surga dan kepedihan dalam nereka hanya roh.
Kemudian
al-Ghazali menjelaskan lagi, dari 20 masalah tersebut ada tiga hal yang bisa
menyebabkan seorang filosof itu menjadi kafir, antara lain :
a.
Alam semesta dan semua substansi qadim.
Para
filosof muslim di kala itu mengatakan bahwa alam ini qadim. Sebab qadimnya
Tuhan atas alam sama halnya dengan qadimnya illat atas ma’lulnya (ada sebab
akibat), yakni dari zat dan tingkatan, juga dari segi zaman. Alasan dari para
filosof itu adalah tidak mungkin wujud yang lebih dahulu, yaitu alam, keluar
dari yang qadim (Tuhan), karena dengan demikian berarti kita bisa membayangkan
bahwa yang qadim itu sudah ada, sedangkan alam belum ada.
Menurut
al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim (tidak mempunyai permulaan atau tidak
pernah ada) maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh
Tuhan. Jadi, paham qadimnya alam membawa pada kesimpulan bahwa alam itu ada
dengan sendirinya. Tidak diciptakan Tuhan dan ini berarti bertentangan dengan
ajaran al-Qur’an yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap
alam (langit, bumi, dan segala isinya). Bagi al-Ghazali, alam haruslah tidak
qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada,
kemudian Tuhan menciptakan alam maka alam ada di samping adanya Tuhan.
Al-Ghazali
juga menjawab argumen filosof-filosof mulsim itu. Katanya; tidak ada halangan
apa pun bagi Allah menciptakan alam sejak azali dengan iradah-Nya yang qadim pada
waktu diadakan-Nya. Sementara itu, ketiadaan wujud alam sebelumnya karena
memang belum dikehendaki-Nya. Iradah menurut al-Ghazali adalah suatu sifat bagi
Allah berfungsi membedakan (memilih) sesuatu dari lainnya yang sama. Jika tidak
demikian fungsinya, tentu bagi Allah cukup saja dengan sifat qudrat. Akan
tetapi, karena sifat qudrat antara mencipta dan tidaknya sama kedudukannya,
harus ada suat sifat khusus yang membedakannya, yaitu sifat iradah. Andaikata
para filosof Muslim menganggap sifat tersebut tidak tepat disebut sebagai
iradah, dapat diberi nama lain asal itu yang dimaksud atau dengan arti sama.
Sekedar istilah tidak perlu diperdebatkan, yang penting adalah isinya.
Apakah
yang menjadi landasan berpikir al-Ghazali sehingga mengatakan bahwa alam itu
tidak qadim dan Tuhan yang qadim. Kerangka filosofis yang ia tawarkan adalah
titik tolak yang benar dan ortodoks harus diawali dengan mengakui Tuhan sebagai
wujud tertinggi dan kehendak unik yang bertindak secara aktual. ”Prinsip
Pertama adalah Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Berkehendak. Ia
bertindak sekehendak-Nya dan menentukan sesuatu yang ia kehendaki; ia
menciptakan semua makhluk dan alam sebagaimana ia kehendaki dan dalam bentuk
yang Dia kehendaki”.
Sebenarnya
perbedaan yang terjadi pada al-Ghazali dan tentang qadimnya alam hanya sebuah
perbedaan penafsiran antara teolog Muslim dan filosof Muslim. Memang filosof
Muslim berkeyakinan bahwa penciptaan dari tiada (nihil) adalah suatu
kemustahilan. Dari nihil yang kosong, tidak bisa timbul sesuatu. Hal yang
terjadi ialah sesuatu yang diubah menjadi sesuatu yang lain. Justru itu materi
asal (al-hayula alula), yang darinya alam ini disusun, mesti qadim.
Materi
asal ini diciptakan Allah secara emanasi sejak qadim dan tidak di batasi oleh
zaman. Oleh karena itu, apa yang diciptakan semenjak qidam dan azali tentu ia
qidam dan azali. Justru itu alam ini qidam pula. Interprestasi filosof Muslim
ini sudah jelas lebih liberal dari teolog Muslim dan juga dipengaruhi oleh ilmu
alam, yakni antara sebab dan musabab tidak ada perbedaan. Allah menciptakan
alam semenjak azali, berarti materinya berasal dari energi yang qadim.
Sementara susunan materi yang menjadi alam adalah baru. Agaknya, interprestasi
ini sejalan dengan ilmu fisika modren.
Menurut
ilmu fisika modren, antara energi dan materi tidak bisa lagi ditarik garis
pemisah yang tegas, energi dapat berubah menjadi materi dan materi dapat
berubah menjadi energi. Dengan kata lain, energi ialah materi yang
direnggangkan, sedangkan materi adalah energi yang dipadatkan.
b.
Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyat
(hal-hal yang terperinci/kecil) yang terjadi di alam.
Sebuah pemahaman bahwa
Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat (hal-hal yang sifatnya terperinci/kecil),
bukanlah sebuah pemahaman yang dianut oleh para filosof Muslim. Sedangkan
pemahaman yang banyak digunakan filosof Muslim itu adalah pemahaman yang dianut
oleh Aristoteles. Menurut al-Ghazali para filosof Muslim itu mempunyai
pemahaman bahwa Allah sebagai Tuhan umat Muslim hanya mengetahui zat-Nya
sendiri dan tidak bisa mengetahui yang selain-Nya.
Pendapat para filosof
Muslim ini di jawab oleh al-Ghazali. Al-Ghazali mengatakan bahwa para filosof
itu telah melakukan kesalahan fatal. Menurut al-Ghazali lebih lanjut adalah
sebuah perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu
berubah tidak membawa perubahan pada zat, dalam artian keadaan orang yang
mempunyai ilmu tidak berubah. Kemudian al-Ghazali memberikan sebuah ilustrasi,
bila seseorang berada di sebelah kanan Anda, lalu orang itu berpindah kesebelah
kiri Anda, kemudian berpindah lagi kedepan atau kebelakang, maka yang berubah
adalah orang itu, bukanya Anda. Ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya
yang satu (Esa) semenjak azali dan tidak berubah meskipun alam yang diketahui-Nya
itu mengalami perubahan.
Untuk memperkuat
argumennya, al-Ghazali mengeluarkan dalil-dalil al-Qur’an yang menyatakan bahwa
Allah Maha Tahu segalanya, baik yang besar atau yang kecil.
Dalil pertama :
وَمَا
تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِنْ قُرْآنٍ وَلا تَعْمَلُونَ مِنْ
عَمَلٍ إِلا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ وَمَا يَعْزُبُ
عَنْ رَبِّكَ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الأرْضِ وَلا فِي السَّمَاءِ وَلا
أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ وَلا أَكْبَرَ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Artinya: ”Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”(Q.S. Yunus: 61)
Artinya: ”Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”(Q.S. Yunus: 61)
Dalil kedua :
قُلْ أَتُعَلِّمُونَ اللَّهَ بِدِينِكُمْ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَاللَّهُ بِكُلِّ
شَيْءٍ عَلِيم
Artinya:”Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?"(Q.S. Al-Hujurat: 16).
Artinya:”Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?"(Q.S. Al-Hujurat: 16).
Dalam ayat ini jelaslah
bahwa Allah Maha Tahu atas segala sesuatu. berbeda dengan Ibnu Rusyd yang
mengatakan Tuhan hanya tahu yang universal, bukan perkara yang kecil
(partikular). Tudingan al-Ghazali ini berbentuk sebuah ucapan seperti di
bawah ini :
Yang menjadi persoalan
adalah pernyataan mereka (para filsafat) ”Tuhan yang Mahamulia mengetahui
hal-hal yang bersifat universal, tetapi tidak hal-hal yang bersifat partikular”
pernyataan ini jelas-jelas telah menyelewengkan dalil-dalil di atas, ini
menunjukkan ketidakberimanannya mereka. Maka yang benar adalah ”tidak ada
sebutir atom pun di langit maupun di bumi yang luput dari pengetahuan-Nya.”
Kalau dilihat pendapat Ibnu
Rusyd maka akan berlawanan, menurut Ibnu Rusyd; pengetahuan Allah tidak dapat
dikatakan juz’i (parsial) dan kully (umum). Juz’i adalah satuan yang ada di
alam yang berbentuk materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan pancaindera.
Kully, mencakup berbagai jenis (nu’). Kully bersifat abstrak, hanya dapat
diketahui melalui akal. Allah bersifat imateri (rohani), tentu saja pada
zat-Nya tidak terdapat pancaindera untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena
itu, kata Ibnu Rusyd, tidak ada para filosof muslim yang mengatakan ilmu Allah
bersifat juz’i dan kully.
c.
Pembangkitan Jasmani Tidak Ada.
Banyak dari para filosof
berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan nantinya di alam akhirat adalah rohani
semata, sedangkan jasmani (jasad) akan hancur. Maka dari itu, ketika di akhirat
nanti, tentang adanya kebahagiaan ataupun kepedihan di sana yang dapat
merasakan adalah rohani. Sedangkan jasmani (jasad) merasakan kebahgiaan dan
kepedihan hanya saat di dunia saja.
Kesesuaian suasana rohani
maka ketika dibangkitkan nanti saat di akhirat bersifat rohani pula. Akan
tetapi, kebangkitan jasmani tidak sampai ke akhirat atau dikembalikan. Dalam
mengulas alasan-alasan, mereka mengemukakan bahwa pengembalian jasad memiliki
tiga kemungkinan. Pertama, manusia terdiri atas badan dan kehidupan, ini sama
halnya seperti dikatakan oleh sebagian ulama kalam, sedangkan jiwa berdiri
dengan sendirinya dan yang mengatur badan tidak ada wujudnya. Pengertian mati
berarti terputus hidup, yakni Tuhan tidak lagi menciptakan hidup, oleh karena
itu hidup ini tidak ada, dan badan tidak ada pula. Jadi, arti kebangkitan adalah
bahwa Tuhan mengembalikan badan yang sudah tidak ada karena mati kepada
wujudnya, dan mengembalikan hidupnya yang sudah tidak ada.
Dalam perkataan lain, badan
manusia setelah menjadi tanah dikumpulkan dan disusun kembali menurut bentuk
manusia dan diberikan hidup kepadanya. Kedua, atau dikatakan bahwa jiwa (roh)
manusia tetap wujud sesudah mati, tetapi badan yang pertama (yang terjadi di
dunia ini) nantinya dikembalikan lagi dengan anggota-anggota badannya sendiri
dengan lengkap. Ketiga, atau dikatakan, jiwa manusia dikembalikan kepada badan,
baik badan dengan anggota-anggotanya yang semula ataupun badan yang lain
samasekali. Jadi, yang dikembalikan ialah manusianya, sebab badannya (bendanya)
tidak terpenting, sedangkan manusia disebut karena jiwanya (rohnya), bukan
karena bendanya (badannya).
Atas dasar ini, para
filosof muslim ini berpendapat bahwa mustahil mengembalikan rohani kepada jasad
ketika keduanya telah berpisah. Menurut mereka, setelah berpisah antara roh
dengan jasad, berarti kehidupan telah berakhir dan tubuh menjadi hancur.
Penciptaan kembali berarti penciptaan baru yang tidak sama dengan yang berlalu.
Pengandaian hal ini berarti mengimplikasikan qadimnya suatu hal dan baharunya
hal yang lain. Akan tetapi, jika diandaikan terjadi kebangkitan jasad, maka
akan menempuh jalan yang sulit dan membutuhkan pemikiran yang panjang, seperti
adanya manusia pincang, manusia buta, dan lainnya. Kalau ini yang terjadi maka
di surga nantinya akan ada sidat kekurangan dan ada pula satu jiwa dengan dua
tubuh atau sebaliknya. Sesungguhnya di surga yang suci tidaklah demikian. Jika
demikian terjadilah proses yang panjang, seperti panjangnya proses kapas
hingga menjadi kain.
Menurut al-Ghazali,
berdasarkan gambaran al-Qur’an dan al-Hadits Nabi Muhammad SAW. Tentang
kehidupan di akhirat bukanlah mengacu pada kehidupan rohani saja. Tetapi pada
kehidupan rohani dan jasmani. Jasad dibangkitkan dan disatukan dengan jiwa-jiwa
manusia yang pernah hidup di dunia untuk merasakan nikmat surgawi yang bersifat
rohani-jasmani. Kehidupan di surga dan neraka yang bersifat rohani-jasmani itu,
menurut al-Ghazali, bukanlah kehidupan di surga dan neraka bersifat rohaniah
saja, menurut al-Ghazali adalah pemahaman yang mengingkari adanya kebangkitan
jasad di hari akhirat. Pemahaman demikian, menurutnya bertentangan dengan apa
yang diajarkan oleh al-Qur’an dan al-Hadits, karena itu dikufurkannya.
Al-Ghazali berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan itu adalah jasmani. Ini terbukti
dengan perkataannya :
”... adalah bertentangan
dengan seluruh keyakinan seorang Muslim, keyakinan mereka yang mengatakan bahwa
badan jasmani manusia tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi hanya
jiwa yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala
atau hukuman itu pun akan bersifat spritual dan bukannya bersifat jasmaniah.
Sesungguhnya, mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman
yang bersifat spritual karena hal itu memang ada secara pasti; tetapi secara
salah, mereka menolak adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmaniah dan
mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka
nyatakan itu.”
Dalam bukunya Tahafut
al-Falasifah al-Ghazali juga mengatakan; banyak hadits yang mengatakan bahwa
roh-roh manusia merasakan adanya kebaikan atu siksa kubur dan lainnya. Semua
ini sebagai indikasi adanya kekekalan jiwa. Sedangkan kebangkitan jasmani
secara eksplisit telah ditegaskan dalam syara’, yakni berarti jiwa dikembalikan
pada tubuh, baik tubuh semula maupun tubuh yang lain, atau tubuh yang baru
dijadikan. Ini dikarenakan tubuh manusia dapat berganti bentuk, seperti dari
kecil menjadi besar, kurus menjadi gemuk, dan seterusnya. Namun, hal yang
terpenting ada satu tubuh berbentuk jasmani yang dapat merasakan kepedihan dan
kebahagiaan. Allah Mahakuasa menciptakan segala sesuatu. dan dengan
KeMahakuasaan-Nya tidak merasa sulit bagi-Nya menjadikan setetes sperma
menjadi aneka macam organ tubuh, seperti tulang, daging, kulit, urat saraf,
otoit, lemak, dan sebagainya. Dari hasil ini detik berganti menit, menit
berganti jam, dan jam berganti hari. Akhirnya menjadi mata, gigi, perasaan yang
berbeda antara setiap manusia. Justru itu, Allah jauh lebih mudah mengembalikan
rohani pada badan (jasmani) di akhirat ketimbang penciptaan-Nya pertama kali.
Sungguh pertentangan antara
al-Ghazali dengan filosof Muslim kalau di kaji secara mendalam, maka
pertentangan tersebut hanya sebuah perbedaan Interprestasi karena bedanya
titik pijak. Al-Ghazali seorang teolog al-Asy’ari, ia aktif mengembangkan
Asy’arisme selama delapan tahun (1077-1085) pada Universitas Nizhamiyah
Baghdad, tentu saja pemikirannya dipengaruhi oleh aliran ini, yakni dengan
kekuasaan kehendak mutlak Tuhan dan interprestasinya tidak seliberal para
filosof. Sementara itu, pemikiran para filosof Muslim dipengarhui oleh
pemikiran rasional, tentu saja interprestasi mereka lebih liberal dari
al-Ghazali. Namun, antara kedua pihak sependapat bahwa di akhirat nanti ada
kebangkitan.
d.
Pandangannya terhadap Ilmu
Ilmu merupakan sumber
kebutuhan bagi setiap manusia, karena tanpa ilmu manusia akan bodoh dan tidak
mengetahui arah hidup dalam prikehidupan. Sebagai seorang ilmuwan besar,
Al-Ghazali berupaya membuat sebuah karya-karya tulis yang bersifat memotivasi
seseorang untuk selalu menggali ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama. Di
dalam karyanya al-Ghazali yang berjudul Ihya Ulum Ad Din yang artinya
menghidupkan ilmu-ilmu agama. Ini merupakan sebuah karya al-Ghazali yang banyak
dipakai oleh para ulama-ulama kalam sebagai bahan kajian untuk amalan-amalan
baik manusia. Karena di dalam buku itu banyak menjelaskan tentang ilmu-ilmu
keagamaan Islam, ke-Esaan Allah, dan ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan
syari’at.
Pada karyanya yang lain, dan juga terkenal di tengah masyarakat yang berjudul Al Munqiz min Ad Dhalal Al-Ghazali berpendapat bahwa :
Pada karyanya yang lain, dan juga terkenal di tengah masyarakat yang berjudul Al Munqiz min Ad Dhalal Al-Ghazali berpendapat bahwa :
”ilmu hati merupakan
konsekuensi logis bagi ilmu-ilmu manusia, karena ada dua alam, yakni alam lahir
dan alam bathin. Jika ilmu-ilmu (pengetahuan) menguasai ilmu lahir dengan analisa
dan keterangan, maka harus ada ilmu khusus untuk menjelaskan ilmu bathin.
Pengetahuan-pengetahuan itu sendiri ada dua, yaitu inderawi dan sufi (lahir dan
bathin). Sarana untuk mengenal pengetahuan-pengetahuan lahir adalah panca
indera, sedang metoda untuk mencapai pengetahuan-pengetahuan bathin harus
kembali kepada mereka (kaum sufi) yang mengatakan bahwa kesederhanaan, zuhud,
dan amal-amal praktis seluruhnya adalah jalan untuk mempersepsi berbagai
realitas yang tersembunyi dan ilham yang melampaui penglihatan dan pendengaran.
Maka ma’rifat adalah tujuan yang luhur bagi tasawuf. Al-Ghazali menentang
kesatuan antara manusia dengan Tuhan (teori Al Ijtihad) karena bertentangan
dengan ajaran agama.”
Di lain karyanya yang
berjudul The Juwels of the Qur’an (mutiara al-Qur’an) dan Mizan Al-Amal
(timbangan amal), al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi empat bagian :
1.
Pembagian ilmu-ilmu menjadi bagian teoritis
dan praktis.
2. Pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan
yang dihadirkan (hudhuri) dan pengetahuan yang dicapai (hushuli).
3.
Pembagian atas ilmu-ilmu religius (sya’iyyah)
dan intelektual (aqliyah).
4. Pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu fardhu’in
(wajib atas setiap individu) dan fardhu kifayah (wajib atas umat).
Di antara empat hal dari
klasifikasi ilmu di atas yang telah diuraikannya, yang paling luas di bahas
olehnya dalam melakukan pengajaran/diskusi adalah pembagian ilmu menjadi
ilmu-ilmu intelektual dan religius. Namun menurutnya, yang jelas keempat sistem
klasifikasi di atas sangat absah, dan mempunyai derajat yang sama.
Kalau dilihat pemikiran
dari al-Ghazali, maka akan terlihat pendapatnya yang banyak menentang
aliran-aliran filsafat. Menurutnya banyak orang-orang yang menyimpang dari
ajaran agama saat mempelajari filsafat, karena kebanyakan manusia di saat
mempelajari filsafat tanpa sebuah pegangan yang kuat atau dasar yang kuat.
Filsafat menurutnya lebih banyak mengedepankan akal daripada dalil untuk
mencari sebuah kebenaran. Oleh sebab itu, al-Ghazali banyak dikenal oleh para
masyarakat seorang ahli tasawuf, akan tetapi ia tidak melibatkan dirinya
kedalam aliran tasawuf yang terkenal saat itu, yakni tasawuf inkarnasi dan
tasawuf pantheisme. Sedangkan pengetahuan yang dimiliki oleh al-Ghazali
berdasarkan atas rasa yang memancar dalam hati, bagaikan sumber air yang
bersih/jernih, bukan dari penyelidikan akal, dan tidak pula dari hasil
argumen-argumen ilmu kalam.