Pendidikan Filsafat untuk Anak
Mungkinkah filsafat diajarkan untuk anak pada tingkat
sekolah dasar? Tulisan ini akan menjawab pertanyaan tersebut dengan nada
positif. Awalnya akan dijelaskan terlebih dahulu dasar teoritis dari program
filsafat untuk anak yang telah dijalankan di berbagai negara di Eropa dan
Amerika Serikat. Lalu akan dijelaskan juga argumen filsafat sebagai pendidikan
nilai untuk anak-anak. Untuk memperjelas argumen ini juga akan akan dipaparkan
program filsafat untuk anak-anak yang telah diterapkan di beberapa negara
bagian di Jerman. Setelah itu akan dipaparkan beberapa kemungkinan penerapan
untuk konteks Indonesia. Beberapa catatan kritis atas program filsafat untuk
anak juga akan diberikan. Tulisan ini akan ditutup dengan kesimpulan. Saya
mengacu pada penelitian yang dibuat oleh Gregory, Höffling, Zeitler dan Brüning sebagai pendasaran teoritis
sekaligus pemaparan penerapan program filsafat untuk anak di Jerman.
1.
Pendasaran Teoritis
Mengapa filsafat itu penting untuk anak-anak?
Anak-anak, pada dasarnya, adalah filsuf alamiah. Artinya, mereka selalu menjadi
seorang filsuf yang mempertanyakan segala sesuatu, termasuk hal-hal yang sudah
jelas bagi orang dewasa. Seringkali, anak-anak menanyakan pertanyaan yang
mengandung unsur politis, metafisis bahkan etis. Jawaban atas pertanyaan tersebut
membutuhkan pemahaman tentang sejarah, politik dan metafisika yang cukup dalam.
Anak-anak sudah memiliki semacam intuisi filosofis yang sudah ada secara
alamiah di dalam dirinya. Berbagai penelitian, seperti dikutip oleh Maughn
Gregory, menyatakan, bahwa pemahaman dan gaya berpikir filsafat yang diberikan
sejak usia dini dapat meningkatkan kemampuan berbahasa (linguistik), kemampuan
berhubungan dengan orang lain (sosial), kemampuan untuk berhadapan dengan
kegagalan (psikologis), dan kemampuan untuk berpikir terbuka anak (ilmiah),
sehingga ia bisa menerima pelajaran dari luar dengan lebih cepat dan mendalam.
Dengan keempat kemampuan ini, anak pun bisa mengungkapkan perasaan dan
pikirannya kepada orang lain dengan lancar. Di Jerman, program “anak-anak berfilsafat”
(Kinder Philosophieren) sudah dimulai sejak dekade 1960-an. Metode yang
digunakan sebenarnya cukup sederhana, yakni perumusan pertanyaan yang dibuat
bersama-sama dengan anak, berdiskusi bersama anak, guna menjawab pertanyaan
ini, melihat beberapa kemungkinan jawaban yang bersifat terbuka, dan mencoba
menggali pertanyaan lebih jauh dari jawaban yang telah ada.
Metode tersebut harus juga memiliki roh. Ada dua roh
yang ditawarkan di dalam filsafat untuk anak ini, yakni roh kesetaraan dan roh
keterbukaan. Artinya, hubungan antara guru dan murid di dalam kelas haruslah
merupakan hubungan kesetaraan. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang
lebih rendah. Keduanya adalah partner untuk berpikir dan mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang ada. Yang kedua adalah keterbukaan. Setiap
pertanyaan adalah sah. Setiap jawaban dilihat sebagai kemungkinan. Tidak ada
yang mutlak. Semuanya adalah proses yang menuju pada hasil yang bisa
dipertanyakan lagi kemudian. Roh kesetaraan dan keterbukaan akan membuat suasana
menjadi tenang dan menyenangkan. Pikiran pun bisa berkembang di dalam dialog
dengan orang lain. Pola ini tidak hanya menyentuh bagian intelektual anak,
tetapi juga sikap hidupnya yang nantinya juga akan mengedepankan kesetaraan dan
keterbukaan. Dua keutamaan ini amat penting untuk kehidupan.
Dimana peran orang dewasa di dalam proses ini? Orang
dewasa disini, menurut Gregory, berperan sebagai fasilitator sekaligus pengatur
lalu lintas dari pertanyaan dan diskusi. Orang ini harus mencintai dunia
pemikiran. Ia harus sadar, bahwa ia tidak tahu segalanya. Ia melihat dirinya
sebagai pencari yang bekerja sama dengan anak-anak, guna menemukan sudut
pandang baru atas pertanyaan-pertanyaan lama. Ia menjadi “contoh” dari
bagaimana orang harus berfilsafat itu sendiri. Ia memberikan contoh, bagaimana
mengajukan pertanyaan yang baik. Ia juga menjadi contoh, bagaimana mengajukan
jawaban-jawaban yang bersifat terbuka, yang merangsang pertanyaan berikutnya.
Ia mengajarkan, bagaimana merumuskan sudut pandang baru atas masalah-masalah
lama. Ia memberikan kritik dan saran, tanpa bersifat menjatuhkan atau menghina.
Ia juga mampu menghubungkan berbagai aliran ide yang ada, sehingga diskusi
tidak berujung pada kebingungan. Ia menantang jawaban-jawaban dangkal yang
memberikan kepastian mutlak atas pertanyaan-pertanyaan yang ada. Ia sendiri
juga bersikap kritis pada pendapat-pendapatnya sendiri.
Sang “fasilitator filosofis” ini juga mampu menggoyang
pemahaman-pemahaman lama yang ada dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik
kemapanan. Ia juga tidak menilai, apakah suatu pendapat salah atau benar. Ia
hanya mempertanyakan segala pendapat yang muncul di dalam diskusi dengan anak.
Ia melihat anak sebagai manusia yang bermartabat, yang layak untuk didengarkan
dan ditanggapi secara seksama. Ia juga mampu menggali unsur-unsur filosofis
dari pendapat yang muncul. Yang diharapkan adalah, supaya anak memahami pola
berpikir filosofis yang dicontohkan, dan menjadikan pola ini sebagai bagian
dari diri mereka. Yang juga harus diperhatikan adalah, bahwa “fasilitator
filosofis” ini haruslah sebuah tim yang terdiri dari orang-orang yang memiliki
visi yang sama tentang kaitan antara filsafat dan pendidikan. Program
“anak-anak berfilsafat” ini haruslah juga memiliki struktur, misalnya dilakukan
oleh satu tim yang sama seminggu sekali. Dibutuhkan kerja sama antara pihak
sekolah dan pihak yang menawarkan program ini. Di Jerman, beberapa institut
memberikan pelatihan resmi dengan sertifikat resmi untuk para fasilitator dari
program ini, guna menjaga mutu dari proses yang ditawarkan.
Pengalaman di Jerman, sebagaimana dituturkan Gregory,
menunjukkan, bahwa perjumpaan seminggu sekali dalam program filsafat untuk anak
tidaklah cukup. Di beberapa sekolah, misalnya, ditawarkan program filsafat
untuk anak yang dilakukan setelah pulang sekolah. Mereka menyebutnya sebagai
“klub filsafat” (Philo-sophie-Clubs). Program ini banyak membantu
anak-anak yang merasa tertinggal dalam pelajaran di kelas. Mereka bisa
mengajukan pertanyaan dan menemukan sudut pandang berbeda melalui
diskusi-diskusi yang dilaksanakan. Tentu saja, program semacam ini tidaklah
cukup. Orang tua haruslah juga mampu merangsang pikiran anak melalui
percakapan-percakapan bermutu setiap harinya. Melalui diskusi-diskusi filsafat
yang bermutu, anak juga diajak untuk melampaui identitas sempitnya, dan mencoba
melihat dunia dari sudut pandang orang-orang yang memiliki latar belakang
berbeda. Pemahaman antar budaya, antar agama dan antar kelas sosial juga bisa
tercipta melalui program “anak-anak berfilsafat” ini. Di dalam proses diskusi
semacam ini, pemahaman agama juga dimurnikan melalui akal sehat dan empati
terhadap kelompok lain. Pola ini bisa dilihat sebagai upaya untuk melampaui
fundamentalisme dan fanatisme yang menjadi akar dari segala bentuk terorisme.
Di balik itu semua, kita bisa melihat, bahwa program
ini adalah bagian dari pendidikan nilai-nilai (Wertebildung) untuk
kehidupan. Dalam arti ini, nilai bukan berarti nilai baik buruk seturut dengan
agama atau tradisi tertentu, melainkan kemampuan untuk secara masuk akal dan
bebas menentukan apa yang akan dilakukan pada sebuah keadaan tertentu yang
bersifat partikular. Dalam konteks masyarakat demokratis, seperti Indonesia dan
Jerman, tidak ada satu nilai homogen. Yang ada bukanlah “Nilai” dengan N besar,
melainkan “nilai-nilai”. Kita hidup dalam masyarakat yang memiliki beragam
kultur dengan beragam pandangan hidup serta nilai-nilai di dalamnya. Keadaan
ini memiliki setidaknya dua sisi. Di satu sisi, orang menemukan jalan yang
damai untuk mencapai kebahagiaan sesuai dengan nilai-nilai yang diyakininya. Di
sisi lain, orang dengan mudah terjatuh ke dalam relativisme, dimana tidak ada
lagi yang benar dan yang salah. Semua boleh dilakukan, asal sejalan dengan
keinginan dan kebutuhan pribadi. Di keadaan semacam ini, masyarakat sulit untuk
menemukan ikatan sosial yang menjadi dasar untuk solidaritas dan kesejahteraan
bersama.
Relativisme adalah penolakan ekstrem terhadap kekakuan
aturan dan moral yang sudah ada sebelumnya. Namun, relativisme jelas memiliki
masalahnya sendiri. Apapun yang ekstrem selalu melahirkan masalah. Oleh karena
itu, apapun bentuknya, ekstremisme sedapat mungkin dihindari. Dalam konteks
ini, relativisme yang lahir dari proses berfilsafat haruslah disadari dan
kemudian dibatasi. Ketika ia dibatasi, yang muncul adalah paham pluralisme,
bahwa ada banyak tolok ukur nilai yang bisa digunakan, namun nilai-nilai
tersebut tetap berlaku dalam konteksnya masing-masing. Kata “konteks” menjadi
sangat penting disini. Pemahaman yang jeli tentang konteks yang ada melahirkan
ketepatan dalam menilai dan bertindak. Ini amat penting di dalam masyarakat
plural yang memiliki tolok ukur nilai berbeda-beda. Dalam arti ini, menurut
Höffling, filsafat berperan sebagai pendidikan nilai untuk anak-anak. Ia
berdiri sekaligus menjembatani dua kutub. Kutub pertama adalah indoktrinasi
dalam bentuk penanaman nilai-nilai agama dan tradisi yang dipaksakan, tanpa
sikap kritis. Kutub yang kedua adalah relativisme, dimana tidak ada tolok ukur
nilai yang dipegang bersama, sehingga semuanya boleh dilakukan, termasuk
hal-hal yang merugikan orang lain.
2.
Pendidikan Nilai
Sebagai bagian dari pendidikan nilai, menurut Zeitler,
banyak orang meragukan peran filsafat untuk perkembangan pemikiran dan
nilai-nilai hidup anak. Filsafat memang dikenal sebagai pengetahuan yang
abstrak dan kering, yang kerap kali tidak memiliki hubungan langsung dengan
kehidupan manusia. Sulit membayangkan, bahwa pemahaman semacam ini memiliki
peran di dalam pendidikan nilai anak-anak. Bahkan, para professor filsafat di
berbagai perguruan tinggi, baik di Jerman maupun AS (mungkin juga di
Indonesia?), juga memiliki pendapat serupa. Dasarnya argumennya adalah, bahwa
anak-anak belum memiliki kemampuan berpikir yang cukup untuk mengembangkan
pendapat dan membangun penjelasan yang seringkali bersifat abstrak. Mereka juga
dianggap belum mampu menjaga jarak dari pikiran mereka sendiri, guna
mengembangkan sikap kritis terhadap dirinya sendiri. Apakah pendapat ini bisa
dibenarkan?
Zeitler berusaha menanggapi pendapat tersebut. Di
dalam penelitian yang ia lakukan, ia menemukan, bahwa anak-anak memiliki
kemampuan untuk mengajukan pendapat dan berpikir kritis. Dua kemampuan ini amat
penting di dalam proses berfilsafat. Mereka juga memiliki rasa ingin tahu yang amat
besar, yang amat berguna untuk menggali pemahaman lebih dalam tentang suatu
hal. Berpijak pada rasa ingin tahu itu, mereka lalu bertanya, mengajukan
kemungkinan jawaban, lalu membongkar jawaban tersebut dengan pertanyaan lebih
jauh. Proses diskusi filsafat bisa mempertajam rasa ingin tahu tersebut dan
meningkatkan kemampuan untuk menggali pemahaman melalui tanya jawab yang
berlangsung secara terbuka. Hasilnya adalah keterbukaan pikiran dan kesadaran
diri di dalam berhadapan dengan dunia yang semakin rumit. Dengan dua kemampuan
ini, anak diajak untuk belajar berpikir dan mengambil keputusan sendiri dengan
berpijak pada apa yang terjadi di dalam hidupnya. Ia tidak diperbudak oleh cara
berpikir dogmatis atau relativisme.
Program filsafat untuk anak-anak, dengan demikian,
berdiri di atas dua tegangan, yakni ketidakpercayaan masyarakat luas pada
kemampuan filsafat untuk mengembangkan pemikiran anak-anak, dan
penelitian-penelitian yang membuktikan, bahwa anak-anak sudah memiliki
kemampuan yang mencukupi untuk berpikir filosofis. Zeitler berpendapat, bahwa
filsafat tidak hanya bisa menjadi materi pendidikan anak, tetapi juga bisa
menjadi prinsip dasar pendidikan yang baru untuk anak-anak. Dengan metode ini,
anak diharapkan mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kesadaran
reflektif akan dirinya sendiri sejak dini. Ia juga akan memiliki keterbukaan
berpikir di dalam melihat dunia, serta membuat keputusan-keputusan penting
dalam hidupnya dengan pertimbangan-pertimbangan yang masuk akal. Semua
kemampuan ini amat penting untuk bisa hidup dan berkembang di dalam masyarakat
plural dan demokratis, seperti di banyak negara sekarang ini, seperti
Indonesia.
Di dalam masyarakat multikultur seperti Indonesia, ada
beragam pandangan hidup yang berkembang. Semuanya saling berhubungan satu sama
lain. Keterbukaan berpikir adalah salah satu nilai hidup yang penting untuk
dimiliki. Keadaan ini membuat hidup menjadi semakin kompleks. Orang tidak bisa
lagi begitu saja menyatakan, bahwa pandangan hidupnya lebih baik dan lebih benar
dari pandangan hidup lainnya. Dialog yang berpijak pada keterbukaan berpikir
menjadi hal yang perlu terus dilakukan secara berkelanjutan. Di sisi lain,
orang hidup dengan jutaan informasi yang ia terima melalui berbagai media
setiap harinya. Kondisi ini diebut Zeitler sebagai “masyarakat banjir
informasi” (Informationsflutsgesellschaft). Berbagai tayangan media
mengajarkan satu hal kepada banyak orang, bahwa di dalam hidup, ia perlu untuk
terus membeli barang-barang yang baru, supaya bisa bahagia. Di dalam keadaan
semacam ini, orang sulit untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan
reflektif atas hidupnya. Ia terbenam untuk bekerja, supaya bisa membeli lebih
banyak barang lagi, tanpa henti. Pada titik ini, yakni di dunia yang semakin
plural dalam hal tata nilai serta serbuan konsumtivisme dari berbagai penjuru
media yang mendangkalkan kemampuan berpikir orang, apa kiranya yang bisa
disumbangkan filsafat, terutama untuk pengembangan cara berpikir anak?
Untuk menjawab pertanyaan ini, menurut Zeitler, kita
perlu untuk menegaskan terlebih dahulu arti sesungguhnya dari filsafat. Pada
titik ini, filsafat dapat dipahami dengan dua cara. Yang pertama adalah melihat
filsafat sebagai cara pandang tertentu atas dunia. Ia menghasilkan teori untuk
menjelaskan dan memahami dunia tempat kita tinggal. Yang kedua adalah melihat
filsafat tidak sebagai teori untuk menjelaskan dunia, tetapi sebagai cara
hidup, yakni cara hidup yang mengedepankan pemikiran kritis dan reflektif atas
segala hal di dalam dunia. Walaupun memiliki rumusan yang berbeda, keduanya
memiliki akar yang sama, yakni rasa kagum dan rasa ingin tahu atas segala yang
ada di dunia.
Dua hal itulah yang menjadi energi dari filsafat.
“Berfilsafat,” demikian tulis Zeitler, “dimulai dengan definisi dasar yakni kemampuan
manusia untuk merasa kagum dan heran atas dunia dan segala pertanyaan terkait
dengan makna, pendasaran dan lanjutannya.” Dengan kata lain, yang mendorong
lahirnya filsafat tidak hanya rasa kagum dan ingin tahu semata, tetapi juga
kemampuan untuk bernalar dan memberikan pendasaran atas apa yang dikatakan.
Kemampuan untuk memberikan pendasaran inilah yang menjadi ciri khas filsafat,
yang membedakannya dengan agama dan mistik. Dari gabungan antara rasa kagum,
rasa ingin tahu dan kemampuan bernalar untuk memberikan pendasaran atas
pemikiran ini, filsafat lalu lahir, berkembang dan mendorong lahirnya beragam
ilmu pengetahuan, seperti kita kenal sekarang ini.
Yang sudah pasti, anak-anak memiliki rasa kagum dan
ingin tahu yang besar atas segala hal yang ada di dunia. Mereka memiliki rasa
heran yang besar, yang mendorong mereka untuk menyentuh segala hal yang ada di
sekitar mereka. Dengan kata lain, bakat berfilsafat adalah bakat alamiah yang
dimiliki setiap anak, tanpa kecuali. Secara alamiah, anak juga memiliki
kecenderungan untuk mengajukan pertanyaan. Pertanyaan justru merupakan roh dari
filsafat dan ilmu pengetahuan. Pertanyaan adalah energi pendorong penelitian
dan refleksi filosofis.
Dalam arti ini, proyek anak-anak berfilsafat (Kinder
Philosophieren) juga dapat dipahami sebagai usaha bersama untuk menjawab
satu pertanyaan secara kritis, rasional dan reflektif. Tidak ada jawaban pasti
yang sudah diberikan sebelumnya. Tidak ada jawaban final yang tidak bisa lagi
dipertanyakan. Semuanya pertanyaan harus masuk ke dalam diskusi yang kritis,
reflektif dan rasional yang kemudian dibuka lagi untuk pertanyaan lainnya.
Proyek filsafat untuk anak-anak haruslah dilihat sebagai undangan dan
kesempatan untuk berpikir bersama (zum gemeinsamen Nachdenken). Ia lahir
dari rasa ingin tahu dan berakhir pada rasa ingin tahu yang lebih dalam. Orang
tua dan institusi sekolah maupun agama harus menunda semua jawaban pasti, dan
membiarkan anak masuk ke dalam proses berpikir bersama yang bersifat terbuka.
Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini masih
berpijak pada nilai ujian. Di dalam sistem ini, jawaban atas semua pertanyaan
sudah dirumuskan sebelumnya. Anak hanya perlu menghafal dan mengulang jawaban
tersebut di dalam kertas ujian yang disediakan. Dari proses ini, kemampuan
akademiknya diukur. Namun, sayangnya, proses semacam ini justru membunuh
kreativitas berpikir anak. Pertanyaan-pertanyaan asli yang menarik dan
merangsang kedalaman berpikir juga dibunuh. Akibatnya, kemampuan berpikir anak
menjadi tumpul. Ia mengalami kesulitan untuk merumuskan pertanyaan, berpikir
kritis, berpikir mandiri dan berpikir reflektif. Pendidikan di Indonesia pun
disempitkan hanya pada semata pemberian pengetahuan. Anak dianggap kertas
kosong yang kemudian diisi dengan berbagai macam informasi. Suasana semacam ini
ditambah dengan keadaan banjir informasi yang dialami masyarakat sekarang ini,
terutama dengan berkembangnya teknologi internet. Orang tak lagi mampu
membedakan secara kritis dan rasional, informasi mana yang benar dan informasi
yang merupakan gosip belaka. Padahal, tanpa kemampuan berpikir kritis, rasional
dan reflektif, orang, terutama anak-anak, gampang sekali terbawa oleh hasutan
bohong, dan kemudian dihasut. Kebohongan dan hasutan semacam ini lalu bisa
mendorong terjadinya ketegangan dan konflik di masyarakat. Pendidikan yang
hanya semata berfokus pada nilai ujian juga akan membunuh rasa tanggung jawab
moral yang lahir dari kebebasan pribadi manusia.
Yang ingin dicapai dengan proyek filsafat untuk anak,
menurut Zeitler, adalah pembentukan cara berpikir anak. Proyek ini tidak
mengajarkan anak, apa yang harus dipikirkan, melainkan metode untuk berpikir,
sehingga ia bisa sampai pada kesimpulan yang terbuka, kritis dan masuk akal.
Peran orang dewasa tentu sangat besar dalam hal ini. Tugas orang dewasa adalah
menciptakan suasana yang memungkinkan anak-anak untuk berfilsafat, guna
mengembangkan kemampuan dan kedalaman berpikirnya. Suasana ini harus diciptakan
tidak hanya di sekolah, baik sekolah dasar maupun taman kanak-kanak, tetapi
juga di dalam keluarga. Orang tua harus bekerja sama sepenuhnya dalam dialog
dengan guru di sekolah, maupun dengan orang-orang yang memiliki otoritas untuk
menentukan sistem pendidikan di Indonesia. Yang kedua, minat anak juga harus
dipahami sepenuhnya. Seperti disinggung sebelumnya, proyek filsafat untuk anak
tidak memberikan obyek untuk berpikir, melainkan metode untuk berpikir. Obyek
berpikirnya, dengan demikian, bisa ditentukan oleh anak itu sendiri. Anak yang
suka musik akan mudah untuk diajak berpikir filosofis tentang musik, karena itu
langsung terkait dengan minatnya. Oleh karena itu, orang tua dan guru harus
menyediakan waktu, kesabaran serta kesadaran untuk mendengar secara
sungguh-sungguh minat dan bakat anak.
Proses menarik minat anak untuk berfilsafat amatlah
penting. Hanya dengan adanya minat, filsafat bisa menjadi cara berpikir dan
bahkan cara hidup anak nantinya. “Ketika anak”, demikian tulis Zeitler,
“memiliki perasaan, bahwa pertanyaan-pertanyaanya penting dan dianggap serius,
maka budaya untuk berpikir bersama dan keinginan untuk mengajukan pertayaan
lebih jauh bisa dikembangkan.” Yang perlu diingat adalah, filsafat merupakan
upaya bersama untuk mencari jawaban atas berbagai pertanyaan yang ada di dalam
hidup manusia. Peran orang tua dan guru tentu juga harus dipikirkan ulang.
Dalam hal ini, seperti dinyatakan oleh Zeitler, figur Sokrates sebagai bapak
filsafat perlu diperhatikan. Sokrates bukanlah orang yang tahu segalanya. Ia
mengajak orang berpikir dan mempertanyakan hal-hal yang mereka anggap sudah
pasti. Ia melihat teman diskusinya sebagai orang yang setara, yang sama-sama
mencari jawaban. Dalam hal proyek filsafat untuk anak, anak juga harus dilihat
sebagai manusia yang setara, yang sama-sama mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang ada.
Seringkali, anak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
amat mendasar di dalam hidup. Misalnya, mengapa orang meninggal? Apakah ada
hidup setelah kematian? Mengapa kita harus bekerja? Mengapa kita dilahirkan,
dan sebagainya. Pada umumnya, orang dewasa sudah memiliki jawaban-jawaban
dangkal atas pertanyaan itu, misalnya mengacu pada tradisi atau agama tertentu.
Namun, dalam konteks filsafat, jawaban-jawaban dangkal semacam itu haruslah
dihindari. Di dalam berfilsafat, tidak ada jawaban baku yang tak bisa diganggu
gugat. Yang perlu dilakukan adalah mencoba mengajukan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut dari berbagai sudut pandang. Hal ini haruslah
dilakukan sebagai suatu proses yang berkelanjutan, dan tidak boleh jatuh pada
sikap dogmatis yang memberikan kepastian jawaban yang bersikap baku dan mutlak.
Dalam hal ini, anak diajak untuk mengalami langsung, bagaimana pengetahuan
berkembang (Erkenntnisfortschritt) melalui proses tanya jawab yang
bersifat kritis, rasional dan reflektif.
Inti dari proyek filsafat untuk anak-anak adalah
mengajak anak terlibat langsung di dalam proses dialog untuk menjawab berbagai
pertanyaan yang ada secara kreatif, rasional, kritis dan reflektif. Hal penting
disini adalah kemampuan dari proses dialog tersebut untuk merangsang anak untuk
berpikir lebih jauh dan lebih dalam tentang segala pertanyaan-pertanyaan yang
ia punya. Oleh karena itu, isi dari proses dialog haruslah sesuatu yang dekat
dengan kehidupan anak-anak. Setiap dialog dimulai dari pertanyaan, dan
pertanyaan-pertanyaan adalah pintu masuk ke dalam dunia filsafat dan ilmu
pengetahuan. Kecenderungan orang dewasa di dalam pendidikan adalah memaksa anak
untuk melakukan hal-hal yang tidak ada kaitan langsung dengan hidup mereka.
Proyek filsafat untuk anak-anak, dengan kata lain, harus dimulai dari
pertanyaan anak yang langsung terkait dengan dunia mereka. Ini adalah poin yang
amat penting. Proses terlibat di dalam dialog filosofis tentang suatu
pertanyaan akan membawa anak pada praksis hidup filosofis. Dalam arti ini, filsafat
tidak hanya sekedar menjadi teori untuk menjelaskan dunia, tetapi juga menjadi
sebentuk jalan hidup.
Dialog filosofis juga berpijak pada beberapa keadaan,
yakni adanya kesempatan yang besar untuk mengajukan pertanyaan menjelaskan
suatu ide, menjernihkan suatu ide melalui proses dialog, memberikan alasan atas
suatu pendapat, dan mengajukan pertanyaan pada pendapat orang lain. Dua hal
yang penting disini, yakni kemampuan dan kemauan untuk mendengarkan orang lain,
serta sikap hormat satu sama lain di antara para peserta dialog. Inilah yang
disebut Zeitler sebagai “budaya dialog filosofis” (philosophische
Gesprächkultur). Dengan proses ini, anak dan juga orang dewasa yang
terlibat di dalam dialog akan terbiasa untuk memahami dan menanggapi
konsep-konsep yang ada secara rasional dan analitis. Mereka juga akan terlatih
berpikir dengan berpijak pada rasa hormat dan kemampuan untuk mendengarkan satu
sama lain. Dengan kata lain, dua dimensi langsung disentuh di dalam dialog
semacam ini, yakni kemampuan intelektual dan kepekaan moral. Dengan dua hal
ini, anak lalu terlatih untuk membuat keputusan-keputusan dalam hidupnya dengan
berpijak pada akal budi dan moralitas. Secara alamiah, anak memang memiliki
rasa ingin tahu yang besar. Ini adalah modal yang besar untuk berfilsafat.
Namun, mereka juga terlebih dahulu belajar untuk secara sistematis, kritis dan
reflektif mengembangkan serta mengolah rasa ingin tahu mereka. Inilah salah
satu peran dari proyek filsafat untuk anak-anak.
Yang juga harus diperhatikan adalah, bahwa tidak semua
pertanyaan adalah pertanyaan filosofis yang bisa dibawa ke dalam dialog
filosofis. Ada pertanyaan yang bersifat faktual dengan jawaban yang sudah
jelas. Ada pertanyaan filosofis yang mengundang orang untuk berpikir lebih jauh
dengan jawaban-jawaban yang masih berupa kemungkinan. Pertanyaan filosofis
selalu mengundang rasa ingin tahu, baik untuk anak-anak, maupun orang dewasa.
Pertanyaan filosofis membutuhkan informasi sebagai dasar, tetapi kemudian
bergerak di ranah pendapat. Di ranah pendapat, orang mengalami perbedaan sudut
pandang. Namun, setiap sudut pandang harus memiliki pendasaran yang masuk akal,
yang bisa dimengerti oleh orang dari sudut pandang yang berbeda, walaupun
mereka tidak selalu harus setuju. Prinsip terpenting disini adalah, bahwa
setiap pertanyaan harus dihargai dan dianggap sebagai sesuatu yang serius. Ini
adalah langkah pertama yang amat penting di dalam dialog filosofis, terutama
dengan anak-anak. Dari langkah ini, proses berfilsafat lalu akan mengalir ke
tempat-tempat yang tak terduga sebelumnya. Ia akan membuka
kemungkinan-kemungkinan sudut pandang yang mungkin tak pernah terpikirkan
sebelumnya.
3.
Contoh dari Jerman
Proyek filsafat untuk anak-anak telah lama diterapkan
di berbagai sekolah dasar di Jerman. Di lima negara bagian Jerman, program ini
ditawarkan bersamaan dengan pelajaran agama. Bagi mereka yang tidak memiliki
agama resmi, mereka bisa mengambil mata pelajaran etika sebagai ganti dari
pelajaran agama. Anak-anak yang memiliki agama resmi juga bisa mengambil mata
kuliah etika, dan tidak mengambil mata pelajaran agama. Ini sesuai dengan
undang-undang dasar Jerman yang menegaskan kebebasan setiap orang untuk memilih
mengikuti pelajaran agama, atau tidak. Yang menjadi penekanan adalah pendidikan
nilai. Agama pun dilihat disini sebagai bagian dari pendidikan nilai. Beberapa
negara bagian di Jerman lainnya melihat proyek filsafat untuk anak-anak sebagai
bagian dari seni dan prinsip mengajar. Artinya, ia tidak hanya menjadi satu
mata pelajaran tersendiri, melainkan digunakan sebagai metode mengajar juga
untuk pelajaran-pelajaran lainnya. Proyek semacam ini ditawarkan dengan
berbagai macam variasi di berbagai sekolah dasar di Jerman. Variasinya
ditentukan oleh negara bagian masing-masing. Ini telah dilakukan sejak dekade
1970-an sebagai bagian integral dari sistem pendidikan dasar di Jerman.
Di dalam pelajaran etika dan filsafat, anak diajak
untuk memahami penerapan konsep keadilan, kebaikan, kejahatan, persahabatan dan
hidup bersama. Konsep-konsep tersebut dianalisis dalam konteks pekerjaan
sehari-hari. Anak juga diajak berdiskusi terkait dengan persoalan lingkungan
hidup. Dengan demikian, di sekolah-sekolah dasar di Jerman, mata kuliah etika
dan filsafat menyentuh setidaknya dua dimensi. Dimensi pertama adalah persoalan-persoalan
nilai di dalam hidup, seperti kaitan antara keadilan dan perdamaian. Dimensi
kedua adalah persoalan-persoalan epistemologis-antropologis, terkait dengan
pengetahuan manusia, siapa itu manusia, dan persoalan jati diri manusia. Dua
dimensi ini menjadi tema diskusi sehari-hari, dan kemudian diterapkan dalam
berbagai konteks kehidupan. Materi ajar semacam ini diresmikan dalam bentuk
peraturan mengajar yang berlaku di masing-masing negara bagian di Jerman. Ada
empat prinsip yang digunakan, yakni merumuskan konsep secara jernih, menyampaikan
pendapat secara jelas dan sistematik, mengajukan pertanyaan secara jelas dan
sistematik, dan mengajukan kemungkinan-kemungkinan jawaban yang kreatif, kritis
dan rasional. Pola semacam ini diambil pemerintah Jerman dari tradisi filsafat
yang berkembang di masa Yunani Kuno. Salah satu tema utama dari model pelajaran
semacam ini adalah soal kebahagiaan, atau hidup yang bahagia.
Di dalam penerapan di kelas, anak diajak untuk
menyadari, bahwa kebahagiaan memiliki beragam arti. Tidak hanya itu, anak juga
diajak untuk sadar, bahwa setiap konsep tidak akan pernah memiliki arti yang
abadi, melainkan selalu berubah mengikuti keadaan dan kebutuhan masyarakat.
Jadi, di dalam model pelajaran semacam ini, anak diajak untuk menyadari, bahwa
setiap ide memiliki arti setidaknya dari dua sumber. Yang pertama adalah arti
logis dan semantik dari kata yang digunakan. Yang kedua adalah arti dari
konteks, bagaimana kata itu digunakan. Dua sumber ini harus sungguh
diperhatikan, jika orang hendak memahami atau menggunakan suatu konsep
tertentu. Contoh yang sering digunakan di dalam penerapan program filsafat
untuk di Jerman adalah konsep kebahagiaan. Arti logis dan semantik dari sebuah
kata lahir dari sejarah kata itu. Maka, sedikit pengetahuan soal akar kata dan
makna sebenarnya juga diperlukan di dalam melakukan diskusi filosofis. Namun,
arti logis dan semantik sebuah kata tersebut juga harus dibandingkan dengan
penggunaan kata tersebut di dalam hidup sehari-hari. Misalnya kata kebahagiaan
yang seringkali mengacu ada keadaan batin yang terpuaskan, ketika orang
menjalani hidup yang bermakna. Memahami arti sebuah konsep dalam konteks
berarti memahami penggunaan konsep itu dalam irisan dengan penggunaan
konsep-konsep lainnya. Dalam arti ini, misalnya, kebahagiaan seringkali
digunakan dekat dengan kata kepenuhan hidup. Maka, arti dari kata kebahagiaan
juga tidak bisa dilepaskan begitu saja dari konsep kepenuhan hidup. Ini adalah
salah satu contoh pola diskusi filosofis yang banyak dilakukan di berbagai
sekolah dasar di Jerman.
Seperti sudah disinggung sebelumnya, pendasaran atas
argumen adalah salah satu bagian terpenting di dalam filsafat. Setiap argumen
harus dapat dijelaskan secara rasional, sekaligus juga cukup terbuka untuk
ditanggapi oleh orang lain. Tanpa penjelasan, sebuah pernyataan tidak bisa
disebut argumen, maka ia juga tidak bisa menjadi bagian di dalam diskusi
filosofis. Di dalam proyek filsafat untuk anak diajarkan juga kemampuan untuk
memberikan pendasaran pada setiap pernyataan yang diajukan. Dalam konteks ini,
anak diajarkan untuk membedakan dua macam pendasaran. Pendasaran pertama adalah
pendasaran empiris, yakni pendasaran yang berpijak langsung pada pengalaman
manusia. Misalnya, saya tidak mau makan makanan pedas, karena saya sedang sakit
perut. Sakit perut adalah pengalaman manusia, dan ini menjadi dasar untuk suatu
tindakan, yakni tidak makan makanan pedas. Diskusi bisa dilanjutkan, misalnya,
dengan menanyakan, sakit perut macam apa yang diderita, dan makanan pedas macam
apa yang dimaksudkan. Pendasaran kedua adalah pendasaran abstrak, yakni
mendasarkan suatu argumen dengan argumen lainnya yang terhubung secara logis.
Misalnya, kejahatan itu lahir, ketika kebaikan tidak ada, karena kejahatan
tidak memiliki hakekat pada dirinya sendiri. Pendapat ini tentu harus
dijelaskan dengan pendasaran tertentu yang rasional, kritis dan sistematik.
Namun, pendapat ini juga tidak mutlak, melainkan selalu terbuka untuk
pertanyaan dan ketidaksetujuan. Pendasaran yang bersifat abstrak harus memiliki
penjelasan logis yang kokoh sebagai dasarnya.
Metode yang digunakan di dalam program ini adalah
metode dialog Sokratik. Sebagai orang yang dikenal sebagai bapak dari filsafat
Barat, Sokrates tidak pernah meninggalkan satu karya tulis pun. Namun, Plato,
muridnya, menjadikan Sokrates sebagai tokoh utama di dalam buku-buku yang
ditulisnya. Gaya berfilsafat Sokrates amatlah unik. Ia berjalan-jalan di pasar,
dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada orang-orang yang ada disana. Ia
mengajak orang berpikir ulang tentang segala keyakinan yang mereka pegang di
dalam hidup mereka. Ia tidak memberikan jawaban langsung, melainkan mengajak
orang untuk menemukan jawaban mereka sendiri. Yang dilakukan Sokrates adalah
merumuskan pertanyaan-pertanyaan sebagai pemandu untuk menemukan
jawaban-jawaban baru. Dalam arti ini, Sokrates berperan sebagai seorang bidan
yang membantu orang untuk melahirkan idenya sendiri. Pola semacam ini dikenal
juga sebagai pola bidan, atau metode bidan. Tema-tema mendasar kehidupan,
seperti soal keadilan, kebahagiaan, Tuhan dan moralitas, juga menjadi bagian
dari metode bidan ini. Pola semacam inilah yang diterapkan di dalam proyek
filsafat untuk anak di berbagai sekolah dasar di Jerman. Biasanya, tema-tema
tersebut akan dikaitkan dengan suatu cerita yang lalu akan menciptakan banyak
pertanyaan dari anak-anak untuk didiskusikan.
Di dalam praktiknya di Jerman, metode Sokrates
diterapkan dengan satu tujuan dasar, yakni mengajarkan anak untuk berpikir
mandiri. “Ketika anak-anak di sekolah dasar berfilsafat,” demikian tulis
Brüning, “ia harus mengembangkan idenya sendiri tentang pertanyaan-pertanyaan
filosofis. Ini dibantu dengan guru melalui pertanyaan, penjelasan dan
pendasaran dari argumen-argumen yang diberikan.” Guru hanya menjadi semacam
teman untuk mencari jawaban bagi anak. Pada akhirnya, anak sendiri yang akan
berpikir dan menemukan jawabannya sendiri. Yang juga perlu diperhatkan disini
adalah, bahwa metode Sokrates tidak akan berujung pada satu jawaban saja,
melainkan beberapa jawaban dari pertanyaan yang sama. Jawaban-jawaban itu pun
bukan sesuatu yang pasti, melainkan selalu terbuka untuk pertanyaan dan kritik
lebih jauh. Sebabnya adalah, bahwa setiap orang melihat dunia dengan kaca mata
yang berbeda-beda, dan akan menghasilkan sudut pandang yang berbeda-beda pula.
Anak pun lalu diajarkan untuk terbiasa dengan perbedaan sudut pandang semacam
ini. Pola semacam ini akan sangat berguna bagi anak, supaya bisa bisa hidup
dengan damai di dalam masyarakat multikultur. Maka, di dalam metode Sokratik, anak
belajar tidak hanya untuk berpikir dan berpendapat secara kritis, rasional,
sistematis dan reflektif, tetapi juga belajar untuk hidup. Inilah pola mengajar
di dalam program filsafat untuk anak di berbagai sekolah dasar di Jerman.
Program filsafat untuk anak di Jerman juga mendorong
anak untuk berpikir kreatif. Semua bentuk pengetahuan dan informasi yang ada
tidak dijadikan sebagai kepastian mutlak, melainkan sebagai sarana untuk
menemukan cara-cara baru di dalam berpikir dan bertindak. Inilah yang disebut
sebagai eksperimen berpikir (Gedankenexperiment). Yang menjadi tujuan
disini bukanlah kepastian pendapat, melainkan kemungkinan-kemungkinan baru yang
sebelumnya tak terpikirkan. Roh pencarian kemungkinan semacam inilah yang
menjadi pemandu seluruh program filsafat untuk anak di Jerman ini. Di dalam
proses ini, imajinasi lebih penting dari data dan fakta. Fantasi juga dilihat
lebih bermakna daripada sikap tunduk pada keadaan. Semuanya dibiarkan bebas
mengalir, namun dipandu dengan sikap kritis, reflektif, rasional dan sistematik
yang menjadi ciri khas filsafat barat. Bahayanya adalah, beberapa anak yang
lebih aktif akan mendominasi seluruh proses ini. Sementara, beberapa anak
lainnya, yang mungkin lebih pemalu, dan tidak banyak memberikan tanggapan atas
proses yang terjadi. Keadaan ini ditanggapi dengan memberikan kesempatan bagi
semua anak secara bergiliran mengajukan pemikiran mereka. Setiap anak diminta
untuk menyampaikan ide mereka dalam tiga kalimat, tidak lebih dan tidak kurang.
Tidak boleh ada pendapat yang diulang. Setiap pendapat adalah tanggapan atas
pendapat sebelumnya. Disini dilatih setidaknya dua hal, yakni kemampuan
mendengarkan dan kemampuan menanggapi dengan berpijak pada pandangan orang
lain, tanpa mengulang hal yang sama.
Program filsafat untuk anak telah menjadi bagian
integral dari sistem pendidikan dasar di beberapa negara bagian di Jerman.
Program ini juga diterapkan di luar program resmi sekolah, seperti di dalam
pengembangan bakat dan persiapan untuk belajar di universitas. Guru-guru untuk
program ini juga dilatih untuk berpikir secara filosofis di berbagai
universitas di Jerman. Di negara bagian Bavaria, program filsafat untuk anak
dimasukan ke dalam pelajaran Etika. Ia meliputi diskusi mengenai tema
persahabatan, kebahagiaan, pekerjaan, karir, keluarga dan agama. Di negara
bagian Mecklenburg-Vorpommern, program ini disebut sebagai “Berfilsafat bersama
dengan Anak-anak” (Philosophieren mit Kindern). Yang menjadi tema utama
adalah empat tema besar, yakni alam, proses belajar, identitas, dan media. Di
negara bagian Rheinland-Pflaz, program ini bernama “Pendidikan Etika” (Ethikunterricht).
Fokus utamanya adalah dinamika hidup bersama, persahabatan, kebahagiaan,
kematian, keluarga dan identitas. Di negara bagian Sachsen, program ini menjadi
bagian dari mata pelajaran etika. Fokus diskusinya adalah dinamika hidup
bersama, keluarga, kematian, waktu, dan proses terbentuknya bumi. Di
Sachsen-Anhalt, filsafat disebut sebagai “Pendidikan Etika” yang berfokus pada
dinamika hidup bersama, agama-agama dunia, waktu, persahabatan dan kebahagiaan.
Di negara bagian Thüringen, filsafat menjadi bagian dari etika yang meliputi
diskusi mengenai dinamika hidup bersama, persahabatan, agama-agama dunia dan
kebahagiaan.
4.
Untuk Indonesia
Guna melihat kemungkinan penerapan program filsafat
untuk anak di Indonesia, kita setidaknya harus memahami terlebih dahulu keadaan
pendidikan Indonesia sekarang ini. Sejauh pengamatan saya, dunia pendidikan
Indonesia saat ini dijangkiti oleh dua bentuk dogmatisme. Dalam arti ini,
dogmatisme adalah pandangan yang melihat satu nilai tertentu sebagai nilai
mutlak yang tidak dapat dipertanyakan lagi. Siapapun yang tidak mengikuti nilai
ini pantas unutk mendapat hukuman. Bentuk dogmatisme pertama adalah dogmatisme
nilai akademik. Nilai akademik menjadi tolok ukur seluruh proses pendidikan.
Anak yang mendapat nilai jelek akan mengalami kesulitan untuk memperoleh
pendidikan yang lebih tinggi. Ia juga akan dicap sebagai pemalas dan bodoh. Ini
akan mempengaruhi kepercayaan diri sekaligus kesehatan mentalnya sebagai
manusia.
Bentuk dogmatisme kedua adalah dogmatisme agama.
Ajaran-ajaran agama tertentu diselipkan di dalam berbagai mata pelajaran
sebagai kebenaran mutlak yang tidak boleh dipertanyakan. Segala bentuk pertanyaan
dan sikap kritis dianggap sebagai musuh agama, maka harus dihilangkan. Anak
dipaksa untuk menghafal segala yang ada dibuku dan yang diucapkan guru, lalu
diminta untuk memuntahkannya kembali di dalam ujian. Pikiran kritis dan kreatif
pun tidak berkembang, namun justru mati di dalam proses pendidikan. Dogmatisme
nilai akademik dan dogmatisme agama ini menyebar begitu luas sekaligus tertanam
begitu dalam di dalam dunia pendidikan di Indonesia. Dogmatisme di tingkat cara
berpikir dan korupsi di tingkat sistem politik pendidikan Indonesia membuatnya
tidak mampu membentuk sumber daya manusia yang bermutu.
Dua bentuk dogmatisme di atas menghasilkan
manusia-manusia patuh. Mereka tidak terbiasa untuk berpikir mandiri. Mereka
hanya terbiasa untuk mengikuti perintah dan kebiasaan yang ada, tanpa sikap
kritis. Tak heran, mereka mudah sekali terpengaruh oleh budaya terorisme yang
menggunakan agama sebagai topengnya. Mereka juga miskin kreativitas. Akibatnya,
mereka hanya menjadi konsumen pasif yang suka membeli barang, namun tak pernah
ada pikiran untuk menciptakan sesuatu yang baru. Inilah yang disebut juga
sebagai budaya konformis. Orang hanya mengikuti apa yang ada, tanpa pernah
mempertanyakan apa yang ia dengar dan lihat secara kritis. Musuh dari budaya
dogmatis dan konformis semacam ini adalah filsafat, yakni filsafat yang tidak
terjebak menjadi pembenaran bagi ajaran-ajaran tertentu.
Program filsafat untuk anak hendak memperkenalkan
filsafat pada anak-anak di tingkat sekolah dasar. Program ini telah diterapkan
di berbagai negara Eropa. Saya berpendapat, bahwa program ini juga cocok
diterapkan di Indonesia, terutama untuk memerangi segala bentuk dogmatisme dan
konformitas yang kini menyebar begitu luas dan tertanam begitu dalam di dalam
pola hidup orang Indonesia. Ada sembilan hal yang kiranya perlu diperhatikan. Pertama,
jika diterapkan sejalan dengan semangat revolusionernya, filsafat bisa
mengajarkan orang keterampilan hidup yang amat penting, yakni kemampuan
menganalisis dan menyelesaikan masalah melalui proses berpikir yang rasional,
kritis, reflektif dan sistematik. Pendek kata, filsafat bisa menjadi alat untuk
memecahkan berbagai persoalan kehidupan, baik pribadi maupun sosial. Orang
perlu untuk belajar tentang hal ini sejak ia kecil, sehingga ia terbiasa untuk
memecahkan berbagai persoalan yang ia hadapi dengan tepat.
Kedua, filsafat juga menjadi alat untuk
melakukan pendidikan nilai di Indonesia. Perlu ditekankan, bahwa nilai disini
bukan berarti nilai agama atau tradisi tertentu. Filsafat tidak boleh hanya
menjadi alat penyebaran ajaran agama atau tradisi tertentu. Pendidikan nilai di
dalam filsafat berarti berusaha melampaui nilai baik dan buruk yang ada di
dalam agama ataupun tradisi. Melampaui disini berarti mengajukan pertanyaan dan
penalaran kritis atas nilai-nilai yang sudah ada sebelumnya. Dengan pertanyaan
dan penalaran kritis, dogmatisme nilai, baik dalam bentuk dogmatisme nilai
akademik maupun dogmatisme agama, bisa dilampaui. Ini adalah hal yang amat
penting untuk Indonesia sekarang ini. Di sisi lain, pendidikan nilai di dalam
filsafat juga bisa mencegah orang masuk ke dalam relativisme. Orang diajak
untuk memiliki prinsip hidup, tanpa menjadikan prinsip hidup itu sebagai
pegangan mutlak yang tak bisa dan tak boleh diubah.
Ketiga, filsafat juga bisa menjadi sarana
untuk mengembangkan keterbukaan berpikir di Indonesia. Keterbukaan berpikir
adalah suatu keutamaan yang tidak datang dari teori ataupun khotbah-khotbah
moral, melainkan dari kebiasaan. Kebiasaan hanya bisa terbentuk, jika orang
sering melakukannya. Filsafat bisa membentuk keterbukaan berpikir, jika ia
dilakukan secara rutin dan sejak usia dini. Program filsafat untuk di Indonesia
bisa mendorong terciptanya sikap keterbukaan berpikir bagi anak-anak Indonesia.
Keempat, di sisi lain, dengan keterbukaan berpikir serta sikap yang
tidak dogmatis, filsafat juga bisa melatih orang untuk membuat
keputusan-keputusan yang masuk akal dalam hidupnya. Sejak tingkat sekolah
dasar, anak diajak untuk memberikan alasan dan pendasaran bagi pernyataan
maupun tindakannya. Dengan latihan semacam ini, anak akan terbiasa untuk
berpikir secara rasional terlebih dahulu, sebelum ia melakukan sesuatu. Pola
semacam jelas amat dibutuhkan di Indonesia.
Lima, Indonesia adalah bangsa yang
multikultur. Ada begitu banyak cara hidup yang berkembang di dalamnya. Ini
merupakan fakta sejarah yang selalu menempel di dalam identitas bangsa
Indonesia. Kemampuan untuk berpikir terbuka jelas amat diperlukan, supaya hidup
bersama bisa berjalan dengan baik. Filsafat dapat mendorong proses pendidikan
nilai-nilai kehidupan yang menunjang perdamaian di dalam masyarakat
multikultur, seperti Indonesia. Enam, sikap kritis dan rasional yang
menjadi ciri utama filsafat bisa menjadi alat penangkal dari berkembangnya
budaya konsumtivisme. Konsumtivisme adalah paham yang menyatakan, bahwa tujuan
utama dari semua tindakan manusia adalah meningkatkan kemampuannya untuk
membeli barang-barang yang ada. Barang-barang tersebut tidak hanya menentukan
status sosialnya di masyarakat, tetapi juga citra diri pribadinya sebagai
manusia. Konsumtivisme jelas merupakan pandangan yang salah, karena dia
menyingkirkan semua nilai-nilai lainnya yang penting bagi hidup manusia. Namun,
sayangnya, pandangan ini telah menjangkiti masyarakat Indonesia. Filsafat
dengan daya kritis dan rasionalnya bisa menjadi tanggapan kritis atas gaya
hidup konsumtiv semacam ini.
Tujuh, indonesia adalah negara demokratis.
Di dalam masyarakat demokratis, setiap keputusan dibangun di atas dialog dan
kesepakatan bersama. Filsafat mengajarkan orang untuk mampu berpikir,
berdialog, berpendapat dan mencapai kesepakatan secara bersama. Program
filsafat untuk anak membentuk kemampuan ini sejak usia dini, sehingga bisa
menjadi bagian dari kebiasaan hidup sehari-hari. Delapan, untuk membuat
keputusan yang tepat, orang membutuhkan informasi yang tepat. Orang juga harus
mampu menganalisis berbagai informasi tersebut secara kritis dan rasional.
Dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu cepat,
Indonesia kini mengalami banjir informasi. Orang pun kesulitan membedakan
antara informasi yang tepat dan gosip ataupun fitnah. Filsafat bisa membantu
orang untuk bersikap kritis terhadap segala informasi yang ada, supaya ia tidak
terjebak pada gosip ataupun fitnah, ketika hendak membuat keputusan-keputusan
penting dalam hidupnya. Pendidikan filsafat untuk anak bisa mengembangkan
kemampuan berpikir kritis ini sejak usia dini, sehingga anak tidak terjebak
pada informasi yang salah. Ini jelas amat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia
sekarang ini. Informasi tanpa sikap kritis dan rasional untuk mengolahnya
justru akan menciptakan kesalahpahaman dan masalah-masalah lainnya bagi hidup
manusia.
Sembilan, inti dari program filsafat untuk
anak yang sudah diterapkan di berbagai negara Eropa adalah metode Sokrates.
Inti dari metode ini adalah dukungan kepada anak untuk berpikir mandiri dan
menemukan jawabannya sendiri atas pertanyaan-pertanyaan yang ia miliki. Banyak
sekali keutamaan yang muncul di dalam metode ini, mulai dari kreativitas
berpikir sampai kemampuan untuk mendengarkan orang lain. Sistem pendidikan di
Indonesia akan bisa berkembang pesat, jika menggunakan metode Sokrates semacam
ini. Filsafat, dalam arti ini, tidak boleh hanya menjadi satu mata pelajaran
resmi, atau mata pelajaran tambahan semata. Ia juga perlu menjadi paradigma
pendidikan yang menjelma di dalam berbagai mata pelajaran yang ada, dan juga di
dalam hubungan antara murid dan guru. Pendek kata, filsafat, dengan metode
Sokratesnya, perlu menjadi roh dari sistem pendidikan di Indonesia. Program
filsafat untuk anak tidak hanya merupakan satu model pendidikan, melainkan juga
inti dari pendidikan itu sendiri. Sistem pendidikan di Indonesia akan
berkembang pesat, jika menerapkan program ini secara tepat.
5.
Beberapa Catatan
Ada empat catatan kritis yang bisa diberikan untuk
program filsafat untuk anak. Yang pertama adalah bahaya dari birokratisasi
filsafat. Filsafat, pada hakekatnya, adalah pemikiran bebas. Ia mengandalkan
spontanitas dan keberanian untuk mengubah pandangan-pandangan lama yang kita
pegang. Ketika filsafat dijadikan bagian dari sistem dan masuk ke dalam
birokrasi, ada bahaya, bahwa filsafat akan kehilangan ciri spontan, kebebasan
dan keberaniannya. Filsafat justru akan menjadi pelayan sistem dan pembenaran
bagi kekuasaan yang ada. Sejarah sudah membuktikan, bahwa bahaya semacam ini
amat mungkin terjadi. Ketika filsafat masuk ke dalam sistem pendidikan, ia
hanya akan berubah menjadi mata pelajaran belaka yang harus dihafal dan diuji,
serta kehilangan daya kritisnya. Sistem dan birokrasi bisa melenyapkan roh
kritis dan semangat perubahan yang sudah selalu tertanam di dalam filsafat itu
sendiri.
Yang kedua adalah pengandaian yang terlalu tinggi
tentang seorang guru dari program filsafat untuk anak. Seperti dijelaskan
sebelumnya, program ini membutuhkan pengajar yang khusus. Ia tidak hanya
memberikan pengetahuan kepada anak, tetapi juga bisa membantu anak untuk
berpikir dan menemukan jawabannya sendiri. Berapa banyak guru yang bisa
melakukan ini? Inti dari filsafat untuk anak adalah menjalankan metode Sokrates
di dalam dialog filosofis dengan anak. Adakah guru yang bisa menjalankan metode
Sokrates tersebut secara tepat? Jika program filsafat untuk anak dijalankan,
namun mentalitas gurunya masih tradisional, yakni hanya memberikan pengetahuan
dan bersikap otoriter, maka seluruh program ini akan menjadi tidak berguna. Ia
hanya akan menjadi mata pelajaran biasa yang membebani anak dengan hal-hal yang
tak berguna, namun harus dihafal, sekedar untuk lulus ujian.
Yang ketiga adalah pertimbangan mengenai jumlah mata
pelajaran yang diberikan kepada anak pada tingkat sekolah dasar. Seperti kita
semua tahu, jumlah mata pelajaran yang diberikan pada tingkat ini sudah sangat
banyak. Begitu banyak hal harus dipelajari, lalu diuji, guna mendapatkan nilai
akademik. Apakah bijaksana, jika filsafat diberikan sebagai mata pelajaran
mandiri untuk anak, terutama mengingat begitu banyaknya hal yang sudah harus
dipelajari? Bukankah ini akan membuat anak kelelahan, dan akhirnya tidak lagi
mampu untuk menikmati proses belajar? Bukankah ini akan mempengaruhi kesehatan
fisik dan mentalnya? Dan bukankah materi yang terlalu banyak justru membuat
orang tidak belajar apapun? Oleh karena itu, penerapan program filsafat untuk
anak harus memperhatikan setidaknya dua prinsip, yakni sederhana dan
menyenangkan. Jika program filsafat untuk anak ini sederhana dan menyenangkan,
maka ia akan bisa mewujudkan tujuannya menjadi kenyataan. Ia tidak akan menjadi
beban untuk anak ataupun para guru yang menjalankannya.
Yang keempat adalah persoalan kultur. Dalam arti ini,
kultur dipahami sebagai cara hidup yang bersifat unik pada satu ruang dan waktu
tertentu. Filsafat mengandaikan kebebasan, sikap kritis dan kreativitas di
dalam berpikir, mengajukan pertanyaan dan memberikan jawaban. Dasar dari semua
sikap ini adalah keberanian untuk menantang pandangan-pandangan lama yang
mungkin telah ratusan tahun mengakar di dalam suatu masyarakat. Pertanyaannya
di titik ini adalah, apakah kultur Indonesia cocok dengan pola berpikir
filsafat? Jawaban ya dan tidak dalam konteks ini tampak menyederhanakan
masalah. Di satu sisi, kultur harmoni yang kental berkembang di Asia juga
memiliki pengaruh besar di Indonesia. Kultur semacam ini akan sulit untuk
mengembangkan pemikiran-pemikiran filosofis yang kritis. Di sisi lain, filsafat
juga bukanlah barang asing bagi orang Indonesia. Kultur berdiskusi untuk
menemukan jawaban atas suatu masalah sudah selalu merupakan bagian dari cara
hidup orang Indonesia. Pola semacam ini adalah tempat yang subur untuk pemikiran-pemikiran
filosofis yang kritis. Tegangan antara kultur setempat dengan pola berpikir
filosofis yang berkembang di Eropa dan Amerika ini perlu untuk terus ditanggapi
secara kritis.
6.
Kesimpulan
Pendidikan di Indonesia jelas perlu untuk dikembangkan
terus menerus. Program filsafat untuk anak adalah salah satu usaha yang perlu
dilakukan, guna mewujudkan tujuan tersebut. Program ini amatlah penting, karena
filsafat tidak hanya memberikan pengetahuan baru, tetapi juga mengajak orang
untuk berpikir tentang hidupnya secara lebih mendalam. Pendek kata, filsafat
adalah bagian penting dari pendidikan hidup (Lebensbildung) setiap
orang. Dengan kemampuan bernalar kritis serta reflektif, filsafat membentuk
cara berpikir, dan mengajarkan orang untuk membuat keputusan dengan berpijak
pada pertimbangan-pertimbangan yang tepat. Hal ini tentu amat dibutuhkan oleh
setiap orang. Namun, kemampuan ini tidak datang begitu saja, melainkan harus
dilatih secara berulang-ulang di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu,
idealnya, kemampuan ini harus dilatih secara usia dini. Disinilah arti
terpenting dari program filsafat untuk anak untuk konteks Indonesia. Peran
guru, orang tua, pemerintah dan masyarakat luas juga amatlah besar, yakni
sebagai “fasilitator filosofis”, guna membantu anak berpikir secara mandiri dan
kritis. Pada tingkat yang lebih luas, program filsafat untuk anak juga bisa
berperan amat besar untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia di Indonesia.
Ini amatlah penting untuk menunjang kemajuan bangsa. Namun, program filsafat
untuk tidak boleh jatuh pada birokratisasi yang justru membunuh roh kritis dari
filsafat itu sendiri. Ia juga harus memberikan ruang yang memadai untuk
berdialog dengan kultur setempat yang sebelumnya sudah ada di Indonesia.
SUMBER
Kinder Philosophieren, Hans
Seidel Stiftung, 2007, hal. 35-36. Ia menjabarkan refleksinya terkait dengan
program “Anak-anak Berfilsafat” (Kinder Philosophieren) di Amerika
Serikat dan Jerman.
Höffling, Siegfried, “Zur Einführung”, dalam Kinder
Philosophieren, Hans Seidel Stiftung, 2007
Friedrich, Gerhard, et. al., Mit Kindern
philosophieren, Beltz Verlag, Weinheim Basel, 2013
Wattimena, Reza A.A., Filsafat sebagai Revolusi
Hidup, Kanisius, Yogyakarta, 2014.
Gifted Education“ eingereicht am Department für
interaktive Medien und Bildungstechnologien Donau-Universität Krems, Krems,
November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar