Revolusi Doa dan Revolusi Mental
Kita memerlukan pemimpin yang taat beragama, yang bisa
membawa perbaikan moral bangsa. Begitu dikatakan mantan Wakil Presiden Hamzah
Haz baru-baru ini. Hamzah Haz juga menyarankan perlunya dibangun lebih banyak
tempat ibadah, agar semakin banyak orang berdoa sehingga semakin banyak pula
orang yang memiliki moral yang baik.
Hamzah Haz tidak keliru jika ia menghubungkan doa dan
moral yang baik. Hanya masalahnya, doa manakah yang bisa membuahkan moral yang
baik? Pertanyaan ini kebetulan juga sedang digeluti sejumlah sarjana
antropologi dan teologi Islam maupun Kristen. Pergulatan mereka dikumpulkan di
bawah tema ”Prayer, Power, and Politics” dalam jurnal Interpretation, Januari
2014.
Para antropolog kultural memahami doa sebagai
aktivitas ritual. Dari sudut kultural, ritus adalah kesempatan, di mana orang
menjalin hubungan baik dengan kelompoknya, maupun realitas sosialnya, termasuk
kekuasaan. Sementara karena pada hakikatnya kekuasaan selalu relasional,
kekuasaan mau tak mau juga memengaruhi ritus dan dirasakan secara riil oleh
mereka yang menjalankan aktivitas ritual itu. Di situlah terletak hubungan
antara doa dan kekuasaan. Dengan pendekatan di atas, Rodney A Werline, profesor
studi agama-agama di Barton College, North Carolina, meneliti bagaimana doa-doa
dihidupi tokoh-tokoh Kitab Suci Perjanjian Lama, seperti Hannah, Ruth, Salomo,
dan Daniel. Dari penelitiannya terlihat doa terjadi dalam cakupan relasi sosial
dan historis yang amat luas.
Doa bisa berfungsi sebagai dinamika keluarga, sebagai
ekspresi cinta di antara sahabat, sebagai ratapan orang jujur yang tidak
bersalah tetapi menjadi korban, sebagai teguran pemuka agama terhadap umatnya
dan sebagai upaya bagaimana mengobati luka sosial umatnya, sebagai jalan bagi
para pemimpin untuk menjalankan kepemimpinannya, juga sebagai jalan menentang
kekuasaan represif.
Kekuasaan sendiri bukanlah jelek atau baik. Namun,
kekuasaan bisa digunakan untuk membangun hidup atau merusak hidup masyarakat.
Karena terjalin dengan kekuasaan dalam sebuah realitas sosial dan kultural, doa
juga bisa dijadikan jalan untuk membangun hidup, tetapi doa pun bisa
dimanfaatkan untuk merusaknya. Ini semua berarti, doa tak pernah bisa
dilepaskan dari etika.
Radikalitas
doa
Lex orandi, lex credendi: bagaimana kita berdoa, itu
menentukan bagaimana kita beriman dan percaya. Aksioma tersebut menegaskan
bahwa aturan-aturan dan
hukum-hukum
iman sangatlah ditentukan oleh bagaimana kita berdoa. Seperti dipaparkan Nico
Koopman, profesor teologi sistematik dan etika di Universitas Stellenbosch,
semasa rezim apartheid di Afrika Selatan, aksioma itu diperluas menjadi lex
orandi, lex credendi,dan lex (con)vivendi. Artinya, bagaimana kita berdoa tidak
hanya menentukan bagaimana kita beriman, tetapi juga bagaimana kita hidup,
bahkan bagaimana kita hidup bersama.
Di Afrika Selatan semasa rezim apartheid, doa dan
upacara agama memang menjadi ambivalen. Doa bisa untuk menindas ataupun untuk
membebaskan. Di bawah rezim represif, doa dan iman bahkan dilegitimasikan
secara teologis untuk melestarikan penindasan. Karena itu, doa juga perlu
dikoreksi secara etis.
Maka, doa harus dibebaskan dari cengkeraman rezim
represif, lalu dijadikan kekuatan untuk meraih terjadinya masyarakat baru yang
bebas dari penindasan. Doa harus bisa menjadi kekuatan kritis untuk mendobrak
masyarakat yang tidak adil. Di sini, seperti diajakkan filsuf Nicholas
Wolterstorff dari Amerika Serikat, kita perlu memahami kesucian itu bukan
semata-mata dari kategori kesucian sendiri, tetapi juga dari kategori keadilan.
Kata Wolterstorff, masyarakat yang tidak adil adalah
masyarakat yang kehilangan keutuhannya. Dalam masyarakat ini sekelompok orang
tersudut di pinggiran, dan tak terinkorporasikan ke dalam kehidupan yang sedang
berkembang dalam masyarakat itu. Masyarakat demikian bukanlah citra atau
cerminan dari Tuhan dalam keutuhan- Nya. Dalam keutuhan-Nya yang komunitarian,
Tuhan tidak mengecualikan siapa pun. Karena itu, masyarakat yang tidak adil dan
mengecualikan itu adalah masyarakat yang tidak suci. Maka, masyarakat baru yang
kita cita-citakan hendaklah menjadi masyarakat kesucian dan keutuhan,
masyarakat di mana terjadi integritas dan komunitas, inklusi dan pemerataan
keadilan, serta kesatuan hidup yang subur berkembang.
Doa Kristiani sesungguhnya selalu merindukan datangnya
masyarakat semacam itu. ”Datanglah kerajaan-Mu”, itulah yang didoakan mereka
dalam doa Bapa Kami, seperti diajarkan oleh Yesus sendiri. Maka, ahli kitab
suci Afrika Selatan, William Domeris, mengungkapkan, datanglah kerajaan-Mu itu
adalah sebuah doa revolusioner. Doa ini menyerang jantung kejahatan di dunia,
dan memaklumkan matinya segala macam bentuk penindasan, serta mengharap
datangnya kerajaan baru di dunia. Dengan mendoakan ”datanglah kerajaan-Mu”,
orang menatap berakhirnya zaman penindasan ini, dan pada saat yang sama,
seperti diajakkan Yesus, bersama-sama mengusahakan tegaknya kerajaan baru
sebagai realitas fisik, di mana penindasan diakhiri dan pembebasan Tuhan
dimulai. Mendoakan ”kedatangan kerajaan Tuhan” adalah melantunkan doa melawan
pemerintah yang tidak adil.
Melawan
kemungkaran
Jelas doa pada hakikatnya berhubungan dengan realitas
sosial, pembebasan, dan keadilan. Menurut Mun’im Sirry dan A Rashied Omar,
asisten profesor teologi dan peneliti studi Islam pada Universitas Notre Dame,
Indiana, hakikat doa macam ini juga menjadi hakikat doa dalam tradisi Islam.
Menurut kedua sarjana Islam itu, tidaklah benar anggapan bahwa Islam lebih menekankan
tata cara doa sebagai praktik formalitas doa belaka, hingga doa itu tak bisa
membawa transformasi moral bagi pelakunya. Sarjana-sarjana Islam modern
menentang keras anggapan itu dengan berusaha menunjukkan adanya makna sosial
dalam doa Islam.
Sirry dan Omar sendiri mengemukakan pendapatnya dengan
bertolak dari ayat Al Quran 29:45: ”Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu,
yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu
mencegah dari perbuatan- perbuatan keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat
Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya daripada ibadat-ibadat lain).
Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Menurut kedua sarjana Islam di atas, berabad-abad
lamanya sejak adanya agama Islam, raison d’être dari doa Islam adalah menjauhi
fasha (ketidaksenonohan, ketidaklaziman, kekejian) dan mungkar. Selain Al Quran
dan hadis, banyak kisah dan telaah yang menegaskan hakikat doa demikian itu.
Misalnya, ada kisah di mana seorang pemuda dari Madinah berdoa bersama Nabi Muhammad.
Toh, pemuda itu tetap melakukan perbuatan yang salah dan tidak pantas. Nabi
Muhammad hanya menanggapi hal itu dengan kata-kata ini: ”Doanya akan mencegah
dia untuk melakukan perbuatan yang tidak pantas.” Nabi juga pernah ditanya,
”Apakah pendapat Anda tentang seseorang yang berdoa di siang hari, tapi menjadi
pencuri di malam hari?” Nabi kembali menjawab, ”Doanya akan menahan dia untuk
berbuat yang tidak baik.”
Tampaknya Nabi Muhammad yakin, doa pasti mengubah
seseorang. Jika orang tidak diubah oleh doanya, doanyalah yang kiranya kurang
benar. Karena itu, doa atau shalat tidak dengan sendirinya mencegah orang untuk
berbuat fasha dan mungkar. Kemungkaran itu baru bisa dicegah apabila doa itu
dijalankan dengan benar, penuh komitmen, kejujuran, ketulusan, dan kepasrahan
bahwa Allah akan membantu manusia dalam memperjuangkan kebaikan dan memberantas
kejahatan.
Kata ahli tafsir Al Quran, Muhammad Husyan Tabatabai,
jika shalat dijalankan dengan komitmen dan kejujuran, lebih dari institusi atau
pengajar mana pun, shalat sendirilah yang akan melatih orang dengan lebih baik
untuk menjalankan kebajikan dan menolak kejahatan. Ini dibenarkan oleh hadis
yang berkata, orang yang doanya tak mencegah dia melakukan ketidaklaziman dan
kesalahan tak akan memperoleh tambahan dari Tuhan; ia hanya akan makin jauh
dari-Nya.
Menegur
pemimpin
Hamzah Haz yang juga sesepuh PPP itu bicara soal doa
karena gemas terhadap kondisi moral bangsa yang terus merosot. Setiap warga
negara Indonesia kiranya juga gemas seperti dia. Kita adalah negara ber-Tuhan
dan beragama. Mestinya kita juga warga negara yang pendoa. Memang, setiap hari
Jumat masjid-masjid penuh, setiap hari Minggu gereja-gereja penuh, pada
hari-hari raya agama umat berbondong- bondong berdoa dengan khusyuk. Tetapi
mengapa korupsi merajalela, meracuni lembaga mana pun, eksekutif, legislatif,
dan yudikatif. Pejabat-pejabat mengkhianati kepercayaan rakyat dan kehilangan
rasa malunya.
Mengapa doa tidak berefek bagi kebaikan moral bangsa?
Dari penjelajahan singkat mengenai tradisi doa di atas, kita bisa menjawab: doa
kita mandul karena terpisah dari masalah-masalah etika, sosial, dan moral yang
dihadapi bangsa. Doa melulu menjadi praktik formal-ritual yang tidak
bersentuhan dengan permasalahan masyarakat. Doa hanya menjadi kesalehan yang
steril terhadap masalah sosial.
Dalam doa macam itu kita menemukan kenyamanan dan
kemapanan, dan kehilangan kepedulian sosial. Lebih fatal lagi, doa macam ini
membuat kita munafik, seakan-akan kita sudah menjadi baik karena sudah berdoa,
tanpa ingin memberantas kemungkaran yang ada di sekitar kita. Doa tak lagi
memberi kita kekuatan dan inspirasi untuk menggugat dan mendobrak segala bentuk
represi yang menimpa banyak orang, lebih-lebih mereka yang miskin dan
sederhana.
Mengapa kita sampai terjerumus ke dalam keadaan
demikian? Doa memang bersifat pribadi. Tetapi kita tahu, penghayatan kita
terhadap doa juga tergantung pada para pemuka umat, pemimpin jemaat, imam,
ustaz, kiai, pendeta, atau pastor. Dari mereka-mereka itulah kita belajar
berdoa. Karena itu merekalah yang paling berkewajiban mengajari kita bagaimana
berdoa dengan benar.
Misalnya, dengan mendalami lagi tradisi doa yang
diajarkan Al Quran dan Kitab Suci, di mana Tuhan menghendaki agar jika berdoa
janganlah kita melepaskan diri dari masalah kemanusiaan, masalah sosial,
lebih-lebih masalah mereka yang miskin dan menderita. Kalau itu tidak
dilakukan, patutlah kita curiga, para petinggi doa itu diam-diam sedang
menikmati kemapanan, dan mendukung penguasa yang benci terhadap kekuatan doa
yang memberi inspirasi orang untuk menggugat dan mendobraknya. Kita mendengar,
calon presiden dari PDI Perjuangan, Jokowi, bercita- cita mengadakan revolusi
mental. Revolusi mental itu kiranya akan makin efektif jika disertai revolusi
doa. Artinya, bagaimana doa kita dilepaskan dari sangkar keamanan dan kemapanan
individualnya, dibebaskan dari kepentingan untuk membenarkan kelompok-kelompok
tertentu saja hingga menjadi eksklusif terhadap kepentingan seluruh bangsa.
Revolusi doa itu kiranya perlu membangunkan kesadaran moral, sosial, dan etika
dalam doa yang dihayati warga negara.
Untuk itu, revolusi mental dan doa itu kiranya harus
dimulai dari para pemimpin bangsa. Sebab, seperti dikatakan Hassan al-Banna,
pendiri Persaudaraan Muslim di Mesir, paling tidak dalam tradisi Islam, doa itu
seperti latihan harian dalam organisasi sosial dan praktis. Begitu muazin
menyerukan doa dimulai, umat berkumpul, mereka punya hak dan kewajiban sama,
tetapi mereka berdiri di belakang imam yang mengatur ketertiban dan kesatuan
mereka. Imam itu pemimpin. Kalau ia salah dalam memimpin, umat berhak dan wajib
menegurnya. Itulah demokrasi dalam doa. Para pemimpin kita ibarat imam itu.
Kalau mereka salah berdoa, kita pun ikut salah dalam doa kita. Jangan-jangan
inilah sebabnya mengapa kita terjerumus ke dalam kemerosotan moral, yakni
karena para pemimpin kita tidak pernah berdoa, agar kekuasaannya digunakan
untuk melayani rakyat dan tidak untuk memperkaya diri sendiri. Kalau demikian,
doa dan mental merekalah yang terlebih dahulu harus direvolusi. Memang
bisa-bisa kemungkaran yang harus dibongkar oleh doa dari bangsa ini adalah
mental busuk, egois, dan korup para pemimpin bangsa kita sendiri.
Revolusi
Mental
Indonesia saat ini menghadapi suatu paradoks pelik
yang menuntut jawaban dari para pemimpin nasional. Setelah 16 tahun
melaksanakan reformasi, kenapa masyarakat kita bertambah resah dan bukannya
tambah bahagia, atau dalam istilah anak muda sekarang semakin galau?
Dipimpin bergantian oleh empat presiden antara 1998
dan 2014, mulai dari BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri,
hingga Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia telah mencatat sejumlah kemajuan di
bidang ekonomi dan politik. Mereka memimpin di bawah bendera reformasi yang
didukung oleh pemerintahan yang dipilih rakyat melalui proses yang demokratis.
Ekonomi semakin berkembang dan masyarakat banyak yang
bertambah makmur. Bank Dunia bulan Mei ini mengatakan ekonomi Indonesia sudah
masuk 10 besar dunia, jauh lebih awal dari perkiraan pemerintah SBY yang
memprediksi baru terjadi tahun 2025. Di bidang politik, masyarakat sudah banyak
menikmati kebebasan serta hak-haknya dibandingkan sebelumnya, termasuk di
antaranya melakukan pergantian pemimpinnya secara periodik melalui pemilu yang
demokratis.
Namun, di sisi lain, kita melihat dan merasakan
kegalauan masyarakat seperti yang dapat kita saksikan melalui protes di
jalan-jalan di kota besar dan kecil dan juga di ruang publik lainnya, termasuk
media massa dan media sosial. Gejala apa ini?
Pemimpin nasional dan pemikir di Indonesia bingung
menjelaskan fenomena bagaimana keresahan dan kemarahan masyarakat justru
merebak. Sementara, oleh dunia, Indonesia dijadikan model keberhasilan
reformasi yang menghantarkan kebebasan politik serta demokrasi bersama
pembangunan ekonomi bagi masyarakatnya.
Izinkan saya melalui tulisan singkat ini menyampaikan
pandangan saya menguraikan permasalahan bangsa ini dan menawarkan paradigma
baru untuk bersama mengatasinya. Saya bukan ahli politik atau pembangunan.
Untuk itu, pandangan ini banyak berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya
selama ini, baik sebagai Wali Kota Surakarta maupun Gubernur DKI Jakarta. Oleh
karena itu, keterbatasan dalam pandangan ini mohon dimaklumi.
Sebatas
kelembagaan
Reformasi yang dilaksanakan di Indonesia sejak
tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto tahun 1998 baru sebatas melakukan
perombakan yang sifatnya institusional. Ia belum menyentuh paradigma, mindset,
atau budaya politik kita dalam rangka pembangunan bangsa (nation building).
Agar perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, dan sesuai dengan
cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, kita perlu
melakukan revolusi mental.
Nation building tidak mungkin maju kalau sekadar
mengandalkan perombakan institusional tanpa melakukan perombakan manusianya
atau sifat mereka yang menjalankan sistem ini. Sehebat apa pun kelembagaan yang
kita ciptakan, selama ia ditangani oleh manusia dengan salah kaprah tidak akan
membawa kesejahteraan.
Sejarah Indonesia merdeka penuh dengan contoh di mana
salah pengelolaan (mismanagement) negara telah membawa bencana besar nasional.
Kita melakukan amandemen atas UUD 1945. Kita membentuk
sejumlah komisi independen (termasuk KPK). Kita melaksanakan otonomi daerah.
Dan, kita telah banyak memperbaiki sejumlah undang-undang nasional dan daerah.
Kita juga sudah melaksanakan pemilu secara berkala di tingkat nasional/daerah.
Kesemuanya ditujukan dalam rangka perbaikan pengelolaan negara yang demokratis
dan akuntabel.
Namun, di saat yang sama, sejumlah tradisi atau budaya
yang tumbuh subur dan berkembang di alam represif Orde Baru masih berlangsung
sampai sekarang, mulai dari korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, dan sifat
kerakusan, sampai sifat ingin menang sendiri, kecenderungan menggunakan
kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis.
Kesemuanya ini masih berlangsung, dan beberapa di antaranya bahkan semakin
merajalela, di alam Indonesia yang katanya lebih reformis.
Korupsi menjadi faktor utama yang membawa bangsa ini
ke ambang kebangkrutan ekonomi di tahun 1998 sehingga Indonesia harus menerima
suntikan dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang harus ditebus oleh bangsa
ini dengan harga diri kita. Terlepas dari sepak terjang dan kerja keras KPK
mengejar koruptor, praktik korupsi sekarang masih berlangsung, malah ada gejala
semakin luas.
Demikian juga sifat intoleransi yang tumbuh subur di
tengah kebebasan yang dinikmati masyarakat. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi yang
pesat malah memacu sifat kerakusan dan keinginan sebagian masyarakat untuk
cepat kaya sehingga menghalalkan segala cara, termasuk pelanggaran hukum.
Jelas reformasi, yang hanya menyentuh faktor
kelembagaan negara, tidak akan cukup untuk menghantarkan Indonesia ke arah
cita-cita bangsa seperti diproklamasikan oleh para pendiri bangsa. Apabila kita
gagal melakukan perubahan dan memberantas praktik korupsi, intoleransi,
kerakusan, keinginan cepat kaya secara instan, pelecehan hukum, dan sikap
oportunis, semua keberhasilan reformasi ini segera lenyap bersama kehancuran
bangsa.
Perlu
revolusi mental
Dalam pembangunan bangsa, saat ini kita cenderung
menerapkan prinsip-prinsip paham liberalisme yang jelas tidak sesuai dan
kontradiktif dengan nilai, budaya, dan karakter bangsa Indonesia. Sudah saatnya
Indonesia melakukan tindakan korektif, tidak dengan menghentikan proses
reformasi yang sudah berjalan, tetapi dengan mencanangkan revolusi mental
menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building baru yang
lebih manusiawi, sesuai dengan budaya Nusantara, bersahaja, dan
berkesinambungan.
Penggunaan istilah ”revolusi” tidak berlebihan. Sebab,
Indonesia memerlukan suatu terobosan budaya politik untuk memberantas
setuntas-tuntasnya segala praktik- praktik yang buruk yang sudah terlalu lama
dibiarkan tumbuh kembang sejak zaman Orde Baru sampai sekarang. Revolusi mental
beda dengan revolusi fisik karena ia tidak memerlukan pertumpahan darah. Namun,
usaha ini tetap memerlukan dukungan moril dan spiritual serta komitmen dalam
diri seorang pemimpin—dan selayaknya setiap revolusi—diperlukan pengorbanan
oleh masyarakat.
Dalam melaksanakan revolusi mental, kita dapat
menggunakan konsep Trisakti yang
pernah diutarakan Bung Karno dalam pidatonya tahun
1963 dengan tiga pilarnya, ”Indonesia yang berdaulat secara politik”,
”Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan ”Indonesia yang berkepribadian
secara sosial-budaya”. Terus terang kita banyak mendapat masukan dari diskusi
dengan berbagai tokoh nasional tentang relevansi dan kontektualisasi konsep
Trisakti Bung Karno ini.
Kedaulatan rakyat sesuai dengan amanat sila keempat
Pancasila haruslah ditegakkan di Bumi kita ini. Negara dan pemerintahan yang
terpilih melalui pemilihan yang demokratis harus benar-benar bekerja bagi
rakyat dan bukan bagi segelintir golongan kecil. Kita harus menciptakan sebuah
sistem politik yang akuntabel, bersih dari praktik korupsi dan tindakan
intimidasi.
Semaraknya politik uang dalam proses pemilu sedikit
banyak memengaruhi kualitas dan integritas dari mereka yang dipilih sebagai
wakil rakyat. Kita perlu memperbaiki cara kita merekrut pemain politik, yang
lebih mengandalkan keterampilan dan rekam jejak ketimbang kekayaan atau
kedekatan mereka dengan pengambil keputusan.
Kita juga memerlukan birokrasi yang bersih, andal, dan
kapabel, yang benar-benar bekerja melayani kepentingan rakyat dan mendukung
pekerjaan pemerintah yang terpilih. Demikian juga dengan penegakan hukum, yang
penting demi menegakkan wibawa pemerintah dan negara, menjadikan Indonesia
sebagai negara yang berdasarkan hukum. Tidak kalah pentingnya dalam rangka
penegakan kedaulatan politik adalah peran TNI yang kuat dan terlatih untuk
menjaga kesatuan dan integritas teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
Di bidang ekonomi, Indonesia harus berusaha melepaskan
diri dari ketergantungan yang mendalam pada investasi/modal/bantuan dan
teknologi luar negeri dan juga pemenuhan kebutuhan makanan dan bahan pokok
lainnya dari impor. Kebijakan ekonomi liberal yang sekadar mengedepankan
kekuatan pasar telah menjebak Indonesia sehingga menggantung pada modal asing.
Sementara sumber daya alam dikuras oleh perusahaan multinasional bersama para
”komprador” Indonesia-nya.
Reformasi 16 tahun tidak banyak membawa perubahan
dalam cara kita mengelola ekonomi. Pemerintah dengan gampang membuka keran
impor untuk bahan makanan dan kebutuhan lain. Banyak elite politik kita
terjebak menjadi pemburu rente sebagai jalan pintas yang diambil yang tidak
memikirkan konsekuensi terhadap petani di Indonesia. Ironis kalau Indonesia
dengan kekayaan alamnya masih mengandalkan impor pangan. Indonesia secara
ekonomi seharusnya dapat berdiri di atas kaki sendiri, sesuai dengan amanat
Trisakti. Ketahanan pangan dan ketahanan energi merupakan dua hal yang sudah
tidak dapat ditawar lagi. Indonesia harus segera mengarah ke sana dengan
program dan jadwal yang jelas dan terukur. Di luar kedua sektor ini, Indonesia
tetap akan mengandalkan kegiatan ekspor dan impor untuk menggerakkan roda
ekonomi.
Kita juga perlu meneliti ulang kebijakan investasi
luar negeri yang angkanya mencapai tingkat rekor beberapa tahun terakhir ini
karena ternyata sebagian besar investasi diarahkan ke sektor ekstraktif yang
padat modal, tidak menciptakan banyak lapangan kerja, tetapi mengeruk
keuntungan yang sebesar-besarnya.
Pilar ketiga Trisakti adalah membangun kepribadian
sosial dan budaya Indonesia. Sifat ke-Indonesia-an semakin pudar karena
derasnya tarikan arus globalisasi dan dampak dari revolusi teknologi komunikasi
selama 20 tahun terakhir. Indonesia tidak boleh membiarkan bangsanya larut
dengan arus budaya yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa
kita.
Sistem pendidikan harus diarahkan untuk membantu
membangun identitas bangsa Indonesia yang berbudaya dan beradab, yang
menjunjung tinggi nilai-nilai moral agama yang hidup di negara ini. Akses ke
pendidikan dan layanan kesehatan masyarakat yang terprogram, terarah, dan tepat
sasaran oleh nagara dapat membantu kita membangun kepribadian sosial dan budaya
Indonesia.
Dari mana
kita mulai
Kalau bisa disepakati bahwa Indonesia perlu melakukan
revolusi mental, pertanyaan berikutnya adalah dari mana kita harus memulainya.
Jawabannya dari masing- masing kita sendiri, dimulai dengan lingkungan keluarga
dan lingkungan tempat tinggal serta lingkungan kerja dan kemudian meluas
menjadi lingkungan kota dan lingkungan negara.
Revolusi mental harus menjadi sebuah gerakan nasional.
Usaha kita bersama untuk mengubah nasib Indonesia menjadi bangsa yang
benar-benar merdeka, adil, dan makmur. Kita harus berani mengendalikan masa
depan bangsa kita sendiri dengan restu Allah SWT. Sebab, sesungguhnya Allah
tidak mengubah nasib suatu bangsa kecuali bangsa itu mengubah apa yang ada pada
diri mereka.
Saya sudah memulai gerakan ini ketika memimpin Kota
Surakarta dan sejak 2012 sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sejumlah teman yang
sepaham juga sudah memulai gerakan ini di daerahnya masing-masing. Insya Allah,
usaha ini dapat berkembang semakin meluas sehingga nanti benar-benar menjadi
sebuah gerakan nasional seperti yang diamanatkan oleh Bung Karno, memang
revolusi belum selesai. Revolusi Mental Indonesia baru saja dimulai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar