Sabtu, 31 Desember 2016

Filsafat Tentang Ke Nabian ( Ibnu Sina )

Mengenai pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian, ia berpendapat bahwa Nabi adalah manusia yang paling unggul, lebih unggul dari filosof karena Nabi memiliki akal aktual yang sempurna tanpa latihan atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha dan susah payah. Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal  intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad.
Banyak para filosof yang membuat tingkatan akal menjadi empat bahagian, di antaranya, Al-Farabi, Nashiruddin Ath-Tusi, dan lainnya. kalau diklasifikasikan akal-akal tersebut seperti di bawah ini:
1.                  Akal Materil (al’aklul hayulaani) materil intellect yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit. 
2.                  Intellectus in habitu (al’aklu bilmalakah) yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal abstrak
3.         Akal Aktuil (al’aklu bilfiil) yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak
4.                  Akal Mustafad (al’aklu mustafaadu) acquired intellect) yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak dengan tidak perlu pada daya dan upaya. Akal yang telah terlatih begitu rupa, sehingga hal-hal yang abstrak selamanya terdapat dalam akal yang serupa ini. Akal serupa inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari Akal Aktif (al’aklu fa’aala).

Setelah melihat penjelasan di atas mempunyai empat tingkat dan yang terendah di antaranya ialah ada akal materil atau (al’aklul hayulan). Biasanya akal materil tidak bisa sepenuhnya menangkap hal-hal yang abstrak, namun ketika manusia mempergunakan akal materil ini, Allah menganugerahkan kepada manusia agar akal materil dapat bekerja lebih besar lagi. Dalam hal ini Ibnu Sina memberi nama al-hadas yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materil serupa ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan, dengan mudah dapat berhubungan dengan Akal Aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akhirnya aka ini menjadi tinggi, dan diperoleh bagi manusia-manusia terkhusus pada pilihan Allah mereka yang mendapatkannya adalah para Nab-Nabi Allah.
Jadi wahyu dalam pengertian di atas yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak diragukan lagi karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol-simbol. Namun sejauh mana wahyu itu mendorong? Kecuali kalau Nabi dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya ke dalam suatu struktur sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, Nabi berhak mendapat mendapatkan derajat seorang filosof.
Salah satu ungkapan Ibnu Sina tentang perihala Nabi yakni; Ada wujud yang berdiri sendiri dan ada pula yang tidak berdiri sendiri. Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua. Ada bentuk dan substansi yang tidak berada dalam meteri dan ada pula yang berada dalam materi. Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua, selanjutnya ada hewan yang rasional (manusia) dan ada pula hewan yang tidak rasional (binatang). Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua …selanjutnya ada manusia yang memiliki akal aktual dengan sempurna secara langsung (tanpa latihan, tanpa belajar keras) dan ada pula yang memiliki akal aktual dengan sempurna secara tidak langsung (yakni melalui latihan dan studi), maka yang pertama yakni para Nabi yang lebih unggul daripada yang kedua, yakni para filsuf. Para Nabi berada di puncak keunggulan atau keutamaan dalam lingkungan makhluk-makhluk materi. Karena yang lebih unggul harus memimpin segenap manusia yang diunggulinya.
Menurut Ibnu Sina, seorang Nabi sangat identik dengan akal aktif, dan sepanjang identitas ini masih berlaku, akal aktif itu disebut ‘Aql Mustafad (akal yang telah dicapai). Namun, Nabi manusia tidak identik dengan akal aktif. Dengan demikian, pemberi wahyu dalam satu internal dengan Nabi, dalam hal lain, yaitu sepanjang pengertian pemberi wahyu , yaitu manusia yang eksternal dengannya. Oleh sebab itu, Nabi dalam hal sebagai manusia secara “aksidental” bukan secara esensial, adalah akal aktif (untuk pengertian istilah “aksidental”).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar