Budaya Kemiskinan Di Indonesia
Menurut Lewis (1983), budaya kemiskinan dapat terwujud dalam berbagai konteks sejarah, namun lebih cenderung untuk tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat yang memiliki seperangkat kondisi:
1. Sistem ekonomi uang, buruh upah dan sistem produksi untuk keuntungan
2. Tetap tingginya tingkat pengangguran dan setengah pengangguran bagi
3. Tenaga tak terampil
4. Rendahnya upah buruh
5. Tidak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisiasi sosial, ekonomi dan politiknya secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah
6. Sistem keluarga bilateral lebih menonjol daripada sistem unilateral, dan
7. Kuatnya seperangkat nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan penumpukan harta kekayaan dan adanya kemungkinan mobilitas vertikal, dan sikap hemat, serta adanya anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil ketidaksanggupan pribadi atau memang pada dasarnya sudah rendah kedudukannya.
Budaya kemiskinan bukanlah hanya merupakan adaptasi terhadap seperangkat syarat-syarat obyektif dari masyarakat yang lebih luas, sekali budaya tersebut sudah tumbuh, ia cendrung melanggengkan dirinya dari generasi ke generasi melaui pengaruhnya terhadap anak-anak. Budaya kemiskinan cendrung berkembang bila sistem-sistem ekonomi dan sosial yang berlapis-lapis rusak atau berganti, Budaya kemiskinan juga merupakan akibat penjajahan yakni struktur ekonomi dan sosial pribumi didobrak, sedangkan status golongan pribumi tetap dipertahankan rendah, juga dapat tumbuh dalam proses penghapusan suku. Budaya kemiskinan cendrung dimiliki oleh masyarakat serta sosial yang lebih rendah, masyarakat terasing, dan warga korban yang berasal dari buruh tani yang tidak memiliki tanah.
Kemiskinan menjadi faktor terbesar kesenjangan sosial yang menjadi momok dalam kehidupan masyarakat. Saat melihat berita pagi ini tentang kemewahan sebuah penjara para pejabat dan koruptor-koruptor, serta orang-orang memiliki banyak uang, sungguh membuat saya cukup terkejut. Bagaimana tidak? Penjara yang seharusnya menjadi tempat hukuman bagi mereka yang bersalah, serta menjadi tempat untuk merenungi kesalahannya, dijadikan tempat tinggal yang mewah, layaknya sebuah hotel berbintang 5 atau bahkan sebuah apartemen mewah. Hal ini sungguh ironi. Disaat rakyat negeri ini masih berjuang agar kemiskinan di negeri kita bisa lebih menyusut, para lakon di atas malahan hidup bermewah-mewahan di dalam penjara. Sebagai contoh, seorang pencuri ayam atau jemuran akan mendapatkan hukuman dari masyarakat, yaitu dengan dipukuli beramai-ramai, sementara saat masuk penjara, mereka juga mendapatkan siksaan dari para sipir penjara. Namun, seorang koruptor yang mencuri miliaran rupiah uang negara, bisa hidup bermewah-mewahan serta mendapatkan pelayanan khusus yang cukup istimewa dari pihak penjara tersebut. Apalagi kalau bukan uang yang menjadi hal yang paling utama? Bagi mereka, uang bisa membeli apapun. Bahkan bisa membeli hukum sekalipun. Namun, bagi rakyat kecil yang tidak memiliki uang, mereka hanya bisa pasrah menerima hukuman yang diterimanya. Kesenjangan sosial seperti inilah yang selalu menjadi momok dan juga penyakit di negara kita ini.
Menurut Parker Seymour dan Robert J. Kleiner (1983) formulasi kebudayaan kemiskinan mencakup pengertian bahwa semua orang yang terlibat dalam situasi tersebut memiliki aspirasi-aspirasi yang rendah sebagai salah satu bentuk adaptasi yang realistis.
Beberapa ciri kebudayaan kemiskinan adalah :
1. Fatalisme,
2. Rendahnya tingkat aspirasi.
3. Rendahnya kemauan mengejar sasaran,
4. Kurang melihat kemajuan pribadi
5. Perasaan ketidakberdayaan/ketidakmampuan
6. Perasaan untuk selalu gagal
7. Perasaan menilai diri sendiri negatif
8. Pilihan sebagai posisi pekerja kasar dan
9. Tingkat kompromis yang menyedihkan.
Berkaitan dengan budaya sebagai fungsi adaptasi, maka suatu usaha yangsungguh-sungguh untuk mengubah nilai-nilai yang tidak diinginkan ini menuju ke arah yang sesuai dengan nilai-nilai golongan kelas menengah, dengan menggunakan metode-metode psikiater kesejahteraan sosial-pendidikan tanpa lebih dahulu (ataupun secara bersamaan) berusaha untuk secara berarti mengubah kenyataan kenyataan struktur sosial (pendapatan, pekerjaan, perumahan, dan pola-pola kebudayaan membatasi lingkup partisipasi sosial dan peyaluran kekuatan sosial) akan cendrung gagal. Budaya kemiskinan bukannya berasal dari kebodohan, melainkan justru berfungsi bagi penyesuaian diri.
Kemiskinan struktural menurut Selo Sumarjan (1980) adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan strukturl adalah suasana kemiskinan yang dialami oleh suatu masyarakat yang penyebab utamanya bersumber pada struktur sosial, dan oleh karena itu dapat dicari pada struktur sosial yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri.
Kemiskian memang bukan hanya menjadi masalah di Negara Indonesia, bahkan Negara majupun masih sibuk mengentaskan masalah yang satu ini. Kemiskinan memang selayaknya tidak diperdebatkan tetapi diselesaikan. Akan tetapi kami yakin : du chocs des opinion jaillit la verite. Dengan benturan sebuah opini maka akan munculah suatu kebenaran . Dengan kebenaran maka keadilan ditegakkan, dan apabila keadilan ditegakkan kesejateraan bukan lagi menjadi sebuah impian akan tetapi akan menjadi sebuah kenyataan.
Kemiskinan adalah penyebab utama terjadinya kesenjangan sosial di masyarakat. Banyak orang menganggap bahwa kemiskinan adalah suatu suratan takdir atau mereka mereka miskin karena malas, tidak kreatif, dan tidak punya etos kerja. Inti kemiskinan terletak pada kondisi yang disebut perangkap kemiskinan. Perangkap itu terdiri dari :
1. Kemiskinan itu sendiri
2. Kelemahan fisik
3. Keterasingan atau kadar isolasi
4. Kerentaan
5. Ketidakberdayaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar