Sabtu, 31 Desember 2016

JIWA MENURUT PARA FILOSOF MUSLIM



JIWA MENURUT PARA FILOSOF MUSLIM
Berbicara tentang jiwa dalam pandangan filosof Muslim adalah pembahasan yang panjang, sebab itu dalam bahasan ini penulis hanya akan membatasi pada pandangan filosof Muslim tentang beberapa aspek yang berkaitan dengan jiwa.
1.      Ma’hiyat al-nafs (Makna dan esensi jiwa)
Beberapa filosof Muslim seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Miskawaih, Al-Kindi, Ibnu Bajjah berpendapat hampir sama tentang makna jiwa. Mereka berpendapat bahwa jiwa adalah jauhar (substansi) rohani sebagai form bagi jasad. Hubungan kesatuan jiwa dengan badan merupakan kesatuan secara accident, artinya keduanya tidak dapat dibagi-bagi, tetapi keduanya berdiri sendiri dan mempunyai susbtansi yang berbeda, sehingga binasanya jasad tidak membawa binasa pada jiwa. Pendapat mereka menurut Sirajuddin Zar lebih dekat kepada Plato yang mengatakan jiwa adalah substansi yang berdiri sendiri (al-nafs, jauhar al-Qa’im bi z|a>tih)
Ibnu Sina juga menerima pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa jiwa adalah substansi dan bentuk, dan jiwa memiliki hubungan erat dengan badan. Hanya saja Ibnu Sina sejalan dengan filosof Muslim lainnya yang menolak pendapat Aristoteles, bahwa hubungan tersebut adalah hubungan yang esensial, karena ini akan berimplikasi pada kefanaan jiwa. Jika jasad hancur maka jiwa juga akan hancur. Sebab itu para filosof Muslim kemudian lebih memilih pendapat Plato. yang mengatakan bahwa hubungan tersebut adalah accident, yang memposisikan jiwa kekal dan tidak binasa walaupun jasad tempat di mana jiwa berada telah hancur.
Adanya kemiripan pendapat mereka, merupakan hal yang dapat dimaklumi karena mereka memang berasal dari aliran filsafat yang sama sebagai aliran masya’in. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah filsafat jiwa mereka sebagai filosof Muslim merupakan rembesan murni dari filsafat Plato, ataukah keberpihakan terhadap Plato karena lebih dekat dengan bahasa Tuhan dalam al-Quran? Dengan kata lain, apakah al-Quran sebagai dasar utama dalam memahami jiwa kemudian mengkomparasikan dengan filsafat Yunani, ataukah berdasar pada filsafat Yunani kemudian mencari pembenarannya di dalam teks-teks al-Quran?
Menurut Sirajuddin Zar, filosof Muslim membahas jiwa mendasarkannya pada filsafat jiwa yang dikemukakan para filosof Yunani, kemudian mereka menyelaraskannya dengan ajaran Islam. Hal itu karena adanya ayat al-Quran yang menjadi tembok penghalang dalam menyingkap tabir hakekat ruh, di mana hanya Allah swt semata yang mengetahui urusan ruh . Jika ini benar, maka bagi penulis di balik kesuksesan besar yang telah dicapai para filosof Muslim dalam dunia filsafat, ada kegagalan besar yang telah dilakukan dalam memahami Islam sebagai ajaran yang universal, komprehensif dan integral, dan gagal membangun batu bata ilmu dengan pondasi utamanya al-Quran dan sunnah Nabi. Implikasinya, ketika Barat mengadopsi filsafat para filosof Muslim, mereka menerima filsafat tapi terlepas dari nilai Islam yang seharusnya ada, akibatnya mereka kehilangan nilai spiritual. Kenyataan inilah yang disadari oleh al-Gazali sehingga meluncurkan buku tahafat al-falasifah sebagai upaya pelurusan filsafat.

2.      Keabadian Jiwa.
Semua filosof Muslim yang mengatakan bahwa jiwa adalah substansi ruhani yang berdiri sendiri, juga meyakini bahwa jiwa memiliki kekekalan dan tidak hancur. Ibnu Tufael mengatakan bahwa, setelah badan hancur atau mengalami kematian, jiwa lepas dari badan, selanjutnya jiwa yang pernah mengenal Allah selama beradala dalam jasad akan hidup dan kekal.
Keabadian jiwa bukanlah keabadian yang haqiqi sebagaimana keabadian dan kekekalan yang Maha Kekal. Keabadian jiwa menurut Ibnu Sina sebagai sesuatu yang mempunyai awal tetapi tidak mempunyai akhir . Ini berarti kekekalan jiwa adalah kekekalan karena dikekalkan Allah pada akhirnya yang tidak berujung, sedangkan awalnya adalah baru dan dicipta. Atau jiwa punya akhir tidak punya awal. Lebih rinci Ibnu Sina sendiri mengakui bahwa jiwa memiliki temporalitas, tanda temporalitasnya adalah ketidak tentuannya dan ketidak pastiannya kecuali dengan perantaraan tubuh. Jiwa tidak mungkin digambarkan sebelum adanya tubuh
Dalam membuktikan kekalnya jiwa, Ibnu Sina mengemukakan tiga dalil :

1. Burhan al-infisal (bukti perpisahan). Perpaduan jiwa dan jasad bersifat aksiden, keduanya memiliki substansi tersendiri, dan jika jasad mati atau hancur, jiwa tetap dan kekal. Sementara jasad bergantung kepada jiwa untuk bisa hidup
2. Burhan al-basatat (bukti keluasan). Jiwa adalah substansi ruhani yang luas. Dengan keluasannya ia selalu hidup dan tidak mati.
3. Burhan al-musyabbahat (bukti persamaan). Dalil ini bersifat metafisika. Jiwa manusia bersumber dari akal fa’al (akal kesepuluh) sebagai pemberi segala bentuk. Karena akal Sepuluh adalah merupakan esensi yang berfikir, azali dan kekal maka jiwa sebagai ma’lul (akibat)nya juga akan kekal sebagaimana ‘illat (sebab)nya
Mencermati pemikiran di atas, tampaknya kekekalan jiwa yang dikemukakan Ibnu Sina dan yang sepaham dengannya terinspirasi dengan konsep jaza> (balasan perbuatan) dalam yang disebutkan dalam al-Qur’an. Bahwa manusia akan mendapatkan balasan dari perbuatannya di dunia, jika ia beriman dan beramal shaleh balasannya syurga dan akan kekal di dalamnya , jika ia kafir, fasiq dan munafiq balasannya neraka dan ia akan kekal di dalamnya.
Hanya saja terjadi kontadiksi antara teks-teks al-Quran dengan pendapat para filosof yang memahami bahwa tubuh akan hancur dan binasa, dan menolak kebangkitan jasad di akhirat kelak, karena yang akan merasakan bahagia dan penderitaan hanyalah jiwa. Sebab itu harus dicari titik temunya.
Bahasa kekekalan dalam al-Quran bukanlah kekekalan jiwa semata, tetapi kekekalan diri manusia dengan postur tubuh yang sempurna. Punya fisik, tulang, daging dan kulit, serta jiwa dan kemampuan untuk berbicara. Hal tersebut diperkuat dengan ayat-ayat al-Quran dan hadits yang menyebutkan terjadinya komunikasi di akhirat. Demikian pula ayat yang menyebutkan bahwa orang-orang yang mengingkari ayat Allah akan dibakar di Neraka, setiap kali kulitnya matang akan diganti dengan kulit yang baru supaya ia bisa merasakan pedihnya siksaan Neraka membuktikan bahwa bukan hanya jiwa yang mendapatkan kekekalan balasan tetapi diri manusia secara utuh.
Bagi penulis, kekekalan jiwa yang dikemukakan filosof Muslim dapat diambil titik temunya dengan kebenaran al-Quran tentang kebangkitan jasad dengan cara; pertama, bahwa apa yang dikemukakan filosof bahwa jiwa manusia merupakan peringkat paling tinggi, jiwa adalah inti manusia yang kekal, sedangkan jasad akan mengalami kehancuran di dunia adalah benar. Kedua penolakan filosof terhadap kebangkitan kembali jasad adalah egoisme filsafat yang harus diruntuhkan.
Jiwa manusia merupakan hakekat manusia yang sesungguhnya. Jasad tidak lebih dari wadah yang bergerak karena adanya jiwa, jasad bersifat sementara, dan akan mengalami kehancurannya pada batas masa yang telah ditentukan di dunia. Hanya saja kehancuran jasad di dunia bukan berarti ketiadaan sama sekali, tetapi ia hancur kembali ke asalnya yaitu tanah. Sedangkan jiwa sebagai substansi ruhani adalah inti manusia yang akan kembali kepada Allah untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya selama ia berada di dalam jasad di dunia. Supaya jiwa bisa merasakan balasan perbuatannya dengan sempurna, Allah membangkitkan kembali jasad dan menyatukan jiwa dengannya. Karena jiwa tidak bisa merasakan kenikmatan dan kesengsaraan kecuali ketika ia berada di dalam jasad, sebab itu, jasad dibutuhkan untuk menyempurnakan balasan bagi jiwa.
Jasad memiliki kekekalan sebagaimana jiwa memiliki kekekalan. Adapun kekekalan keduanya adalah di akhirat, negeri yang tiada berakhir (kha>lidina fi>ha>). Demikian pula jiwa memiliki sifat hudus| (temporal) dimana ia ada setelah ada di dalam jasad, sebagaimana juga jasad memiliki sifat hudus| karena ia akan hancur di dunia. Tetapi hudus| (kehancuran)nya jasad bukan hilang dalam ketiadaan, ia hanya kembali ke inti asalnya yaitu tanah . Kelak akan dibangkitkan kembali di akhirat, di mana ia akan mengalami keabadian bersama jiwa, yang tidak pernah mati sejak adanya dalam alam wujud.
Perbandingannya, kekekalan jiwa sejak adanya di alam wujud ia tidak lagi rusak dan hancur, berbeda dengan jasad yang mengalami “stagnasi” yaitu kehancuran dan kembali ke inti asalnya. Tetapi Allah sebagai Yang Maha Kekal, pemilik kekekalan dan kebaruan membangkitkan kembali (berarti tidak hilang dalam ketiadaan) dan mempertemukan keduanya dalam satu kesatuan dan bersama dalam kekekalan akhirat, berpadu mendapatkan balasan
Pertemuan dua substansi yang berbeda, jiwa sebagai substansi ruhani dan jasad adalah substansi “materi” bertemu dan menyatu dalam kesatuan kekal, melahirkan substansi inti . Bagi penulis inilah konsep jiwa dalam filsafat al-Qur’an.

3.      Quwat al-Nafs (Daya jiwa)
Menurut Ibnu Sina, Jiwa dapat dibagi ke dalam tiga tingkatan atau fakultas. yaitu; Al-Al-nabatiyah (jiwa vegetatif), ha>yawaniyah (jiwa binatang), dan insa>niyah (jiwa kemanusiaan) . Perlu diketahui bahwa klasifikasi ini bukanlah ide murni Ibnu Sina atau filosof Muslim lainnya, tetapi rembesan pemikiran Aristoteles yang telah ada sebelumnya .
1. Jiwa vegetatif mempunyai tiga daya; makan, tumbuh dan berkembang biak
2. Jiwa binatang yang mempunyai dua daya; daya gerak (al-mutah}arrikat), dan daya tangkap (al-mudrikat), baik daya tangkap dari luar dengan panca indra maupun daya tangkap dari dalam dengan indra-indra batin
3. Jiwa manusia atau al-nafs al-na>tiqat yang mempunyai dua daya; praktis (al-‘amilat) dan teoritis (al-‘alimat).
Menurut Ikhwan Al-Shafa, daya jiwa vegetatif dimiliki semua makhluk hidup, baik manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, karena semua makhluk memiliki keinginan untuk makan, tumbuh dan berkembang biak. Sedangkan daya jiwa binatang hanya dimiliki manusia dan hewan. Adapun daya jiwa yang ketiga hanya dimiliki oleh manusia yang menyebabkan mereka bisa berfikir dan berbicara . Al-Farabi mengklasifikasikan daya jiwa dengan lebih simpel; daya al-Muh}arrikat (gerak) untuk jenis jiwa pertama, daya al-Mudrikat, yang mendorong untuk merasa dan berimajinasi, daya ini termasuk jenis jiwa yang kedua, dan daya al-na>tiqat (berfikir). Daya ini mendorong untuk berfikir secara teoritis dan praktis , ini untuk tingkatan jiwa yang ketiga. Tampaknya Ibnu Sina, Ikhwan Al-Shafa, dan Al-Farabi memiliki pandangan yang sama tentang daya jiwa.
Berbeda dari ketiga filosof Muslim di atas, Al-Kindi mengklasifikasi daya jiwa ke dalam tiga bagian. Pertama daya bernafsu (al-quwwat al-syahwaniyat) yang terletak di perut. Kedua daya marah (al-quwwat al-gad}abiyat) yang terletak di dada. Ketiga daya pikir (al-quwwat al-‘aqliyat) yang terletak di kepala
Pendapat para filosof Muslim di atas, tampaknya klasifikasi Al-Kindi lebih mudah dipahami dan lebih dekat dengan apa yang dibahasakan Tuhan dalam al-Quran. Allah swt menfirmankan bahwa sesungguhnya manusia berasal dari jiwa yang satu, tetapi terjadi pertarungan dan komprontasi antara kekuata-kekuatan jiwa; yakni kekuatan syahwat, kekuatan kemarahan dan kekuatan aqal. Jika pertarungan itu dikuasai kekuatan syahwat maka ia akan menggiring manusia pada al-nafs al-ammarah. Jika kekuatan kemarahan yang unggul, maka ia akan mengendalikan jiwa manusia dalam al-nafs al-lawwamah, dan jika kekuatan akal mampu mengalahkan dua kekuatan lainnya maka, manusia akan dibawah menuju al-nafs al-mutmainnah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar