Sabtu, 31 Desember 2016

Pandangan Al-Ghazali terhadap Filsafat

Pandangan Al-Ghazali terhadap Filsafat
Mengenai pandangan al Ghazali, para ilmuwan berpendapat bahwa ia bukan seorang filosof, karena ia menentang dan memerangi filsafat dan membuangnya. Tentangan yang di lontarkan al-Ghazali ini tercermin dari bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah, yakni sebagai berikut :
”...sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-nama filsuf besar seperti Socrates, Epicurus, Plato, Aristoteles dan lain-lainnya ..., mereka mendengar perilaku pengikut filsuf dan kesesatannya dalam menjelaskan intelektualitas dan kebaikan prinsip-prinsipnya, ketelitian ilmu para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam, dan telogi ..., mereka mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari semua syari’at dan agama, tidak percaya pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf menyakini bahwa agama adalah ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi keindahan ...”
Jikalau melihat ungkapan di atas, terlihat bahwa al-Ghazali lebih tepat digolongkan dalam kelompok pembangunan agama yang jalan pemikirannya didasarkan pada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Apabila memakai sumber lain dari Islam maka sumber-sumber ini hanya dijadikan sebagai alat untuk maksud menghidupkan ajaran-ajaran agama dan untuk membantu menerangi jalan menuju Allah SWT. Hal ini dikuatkan dengan kitabnya Ihya’Ulum Ad-din. Dalam buku Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga diterangkan tentang keremehan pemikiran-pemikiran filsafat. Sehingga apakah mungkin filsafat justru menghukumi atas dirinya sendiri? Al-Ghazali dengan beberapa kali menyatakan, bahwa tujuan penyusunan buku tersebut untuk menghancurkan filsafat dan menggoyahkan kepercayaan orang terhadap filsafat. Dari sinilah, apakah tepat orang yang menetapkan kegagalan filsafat disebut sebagai seorang filosof?.

Dalam bukunya pula yang berjudul Munqiz min al-Dhalal, al-Ghazali mengelompokkan filsosof menjadi 3 (tiga) golongan         :
1.                  Filosof Materialis (Dhariyyun)
Mereka adalah para filosof yang menyangkal adanya Tuhan. Sementara itu, kosmos ini ada dengan sendirinya.
2.                  Filosof Naturalis (Thabi’iyyun)
Mereka adala para filosof yang melaksanakan berbagai penelitian di alam ini. Melalui penyelidikan-penyelidikan tersebut mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban-keajaiban dan memaksa mereka untuk mengakui adanya Maha Pencipta di alam raya ini. Kendatipun demikian, mereka tetap mengingkari Allah dan Rasul-Nya dan Hari berbangkit. Mereka tidak mengenal pahala dan dosa sebab mereka hanya memuaskan nafsu seperti hewan.
3.                  Filosof Ke-Tuhanan (Ilahiyun)
Mereka adalah filosof Yunani, sperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Aristoteles telah menyanggah pemikiran filosof sebelumnya (Materialis dan Naturalis), namun ia sendiri tidak dapat membebaskan diri dari sia-sia kekafiran dan keherodoksian. Oleh karena itu, ia sendiri termasuk orang kafir dan begitu juga al-Farabi dan Ibnu Sina yang menyebarluaskan pemikiran ini di dunia Islam.
Dalam bidang Ke-Tuhanan, al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahl al-bid’at dan kafir. Kesalahan para filosof tersebut diterangkan oleh al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, dan ia membaginya menjadi 20 bahagian, antara lain:
1.                  Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini azali,
2.                  Membatalkan pendapat mereka bahwa akal ini kekal,
3.                  Menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa Allah Pencipta alam semesta dan sesungguhnya alam ini diciptakan-Nya,
4.                  Menjelaskan kelemahan mereka dalam membuktikan Yang Maha Pencipta,
5.                  Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil adanya dua Tuhan,
6.                  Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mempunyai sifat,
7.                  Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi ke dalam al-jins dan al-fashl,
8.         Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi basith (simple) dan tidak mempunyai mahiyah (hakikat),
9.                  Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selain-Nya,
10.              Menjelaskan pernyataan mereka tentang al-dhar (kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir),
11.              Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selain-Nya
12.      Menjelaskan kelemahan pendapat mereka dalam membuktikan bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya,
13.              Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui juz’iyyat,
14.    Menjelaskan pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang bergerak dengan kemauan-Nya,
15.              Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari planet-planet,
16.              Membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua yang juz’iyyat,
17.            Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa mustahil terjadinya sesuatu di luar hukum alam,
18.            Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauhar (substansi) yang berdiri sendiri tidak mempunyai tubuh,
19.              Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan tentang mustahilnya fana (lenyap) jiwa manusia,
20.          Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan dibangkitkan dan yang akan menerima kesenangan dalam surga dan kepedihan dalam nereka hanya roh.
Kemudian al-Ghazali menjelaskan lagi, dari 20 masalah tersebut ada tiga hal yang bisa menyebabkan seorang filosof itu menjadi kafir, antara lain :
a.                  Alam semesta dan semua substansi qadim.
Para filosof muslim di kala itu mengatakan bahwa alam ini qadim. Sebab qadimnya Tuhan atas alam sama halnya dengan qadimnya illat atas ma’lulnya (ada sebab akibat), yakni dari zat dan tingkatan, juga dari segi zaman. Alasan dari para filosof itu adalah tidak mungkin wujud yang lebih dahulu, yaitu alam, keluar dari yang qadim (Tuhan), karena dengan demikian berarti kita bisa membayangkan bahwa yang qadim itu sudah ada, sedangkan alam belum ada.
Menurut al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim (tidak mempunyai permulaan atau tidak pernah ada) maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi, paham qadimnya alam membawa pada kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya. Tidak diciptakan Tuhan dan ini berarti bertentangan dengan ajaran al-Qur’an yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya). Bagi al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam maka alam ada di samping adanya Tuhan.
Al-Ghazali juga menjawab argumen filosof-filosof mulsim itu. Katanya; tidak ada halangan apa pun bagi Allah menciptakan alam sejak azali dengan iradah-Nya yang qadim pada waktu diadakan-Nya. Sementara itu, ketiadaan wujud alam sebelumnya karena memang belum dikehendaki-Nya. Iradah menurut al-Ghazali adalah suatu sifat bagi Allah berfungsi membedakan (memilih) sesuatu dari lainnya yang sama. Jika tidak demikian fungsinya, tentu bagi Allah cukup saja dengan sifat qudrat. Akan tetapi, karena sifat qudrat antara mencipta dan tidaknya sama kedudukannya, harus ada suat sifat khusus yang membedakannya, yaitu sifat iradah. Andaikata para filosof Muslim menganggap sifat tersebut tidak tepat disebut sebagai iradah, dapat diberi nama lain asal itu yang dimaksud atau dengan arti sama. Sekedar istilah tidak perlu diperdebatkan, yang penting adalah isinya.
Apakah yang menjadi landasan berpikir al-Ghazali sehingga mengatakan bahwa alam itu tidak qadim dan Tuhan yang qadim. Kerangka filosofis yang ia tawarkan adalah titik tolak yang benar dan ortodoks harus diawali dengan mengakui Tuhan sebagai wujud tertinggi dan kehendak unik yang bertindak secara aktual. ”Prinsip Pertama adalah Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Berkehendak. Ia bertindak sekehendak-Nya dan menentukan sesuatu yang ia kehendaki; ia menciptakan semua makhluk dan alam sebagaimana ia kehendaki dan dalam bentuk yang Dia kehendaki”.
Sebenarnya perbedaan yang terjadi pada al-Ghazali dan tentang qadimnya alam hanya sebuah perbedaan penafsiran antara teolog Muslim dan filosof Muslim. Memang filosof Muslim berkeyakinan bahwa penciptaan dari tiada (nihil) adalah suatu kemustahilan. Dari nihil yang kosong, tidak bisa timbul sesuatu. Hal yang terjadi ialah sesuatu yang diubah menjadi sesuatu yang lain. Justru itu materi asal (al-hayula alula), yang darinya alam ini disusun, mesti qadim.
Materi asal ini diciptakan Allah secara emanasi sejak qadim dan tidak di batasi oleh zaman. Oleh karena itu, apa yang diciptakan semenjak qidam dan azali tentu ia qidam dan azali. Justru itu alam ini qidam pula. Interprestasi filosof Muslim ini sudah jelas lebih liberal dari teolog Muslim dan juga dipengaruhi oleh ilmu alam, yakni antara sebab dan musabab tidak ada perbedaan. Allah menciptakan alam semenjak azali, berarti materinya berasal dari energi yang qadim. Sementara susunan materi yang menjadi alam adalah baru. Agaknya, interprestasi ini sejalan dengan ilmu fisika modren.
Menurut ilmu fisika modren, antara energi dan materi tidak bisa lagi ditarik garis pemisah yang tegas, energi dapat berubah menjadi materi dan materi dapat berubah menjadi energi. Dengan kata lain, energi ialah materi yang direnggangkan, sedangkan materi adalah energi yang dipadatkan.
b.                  Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyat (hal-hal yang terperinci/kecil) yang terjadi di alam.
Sebuah pemahaman bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat (hal-hal yang sifatnya terperinci/kecil), bukanlah sebuah pemahaman yang dianut oleh para filosof Muslim. Sedangkan pemahaman yang banyak digunakan filosof Muslim itu adalah pemahaman yang dianut oleh Aristoteles. Menurut al-Ghazali para filosof Muslim itu mempunyai pemahaman bahwa Allah sebagai Tuhan umat Muslim hanya mengetahui zat-Nya sendiri dan tidak bisa mengetahui yang selain-Nya.
Pendapat para filosof Muslim ini di jawab oleh al-Ghazali. Al-Ghazali mengatakan bahwa para filosof itu telah melakukan kesalahan fatal. Menurut al-Ghazali lebih lanjut adalah sebuah perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu berubah tidak membawa perubahan pada zat, dalam artian keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah. Kemudian al-Ghazali memberikan sebuah ilustrasi, bila seseorang berada di sebelah kanan Anda, lalu orang itu berpindah kesebelah kiri Anda, kemudian berpindah lagi kedepan atau kebelakang, maka yang berubah adalah orang itu, bukanya Anda. Ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang satu (Esa) semenjak azali dan tidak berubah meskipun alam yang diketahui-Nya itu mengalami perubahan.
Untuk memperkuat argumennya, al-Ghazali mengeluarkan dalil-dalil al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah Maha Tahu segalanya, baik yang besar atau yang kecil.
Dalil pertama   :
وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِنْ قُرْآنٍ وَلا تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَبِّكَ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الأرْضِ وَلا فِي السَّمَاءِ وَلا أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ وَلا أَكْبَرَ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

Artinya: ”Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”(Q.S. Yunus: 61)
Dalil kedua :
قُلْ أَتُعَلِّمُونَ اللَّهَ بِدِينِكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيم

Artinya:”Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?"(Q.S. Al-Hujurat: 16).
Dalam ayat ini jelaslah bahwa Allah Maha Tahu atas segala sesuatu. berbeda dengan Ibnu Rusyd yang mengatakan Tuhan hanya tahu yang universal, bukan perkara yang kecil (partikular).  Tudingan al-Ghazali ini berbentuk sebuah ucapan seperti di bawah ini :
Yang menjadi persoalan adalah pernyataan mereka (para filsafat) ”Tuhan yang Mahamulia mengetahui hal-hal yang bersifat universal, tetapi tidak hal-hal yang bersifat partikular” pernyataan ini jelas-jelas telah menyelewengkan dalil-dalil di atas, ini menunjukkan ketidakberimanannya mereka. Maka yang benar adalah ”tidak ada sebutir atom pun di langit maupun di bumi yang luput dari pengetahuan-Nya.”
Kalau dilihat pendapat Ibnu Rusyd maka akan berlawanan, menurut Ibnu Rusyd; pengetahuan Allah tidak dapat dikatakan juz’i (parsial) dan kully (umum). Juz’i adalah satuan yang ada di alam yang berbentuk materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan pancaindera. Kully, mencakup berbagai jenis (nu’). Kully bersifat abstrak, hanya dapat diketahui melalui akal. Allah bersifat imateri (rohani), tentu saja pada zat-Nya tidak terdapat pancaindera untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena itu, kata Ibnu Rusyd, tidak ada para filosof muslim yang mengatakan ilmu Allah bersifat juz’i dan kully.
c.                  Pembangkitan Jasmani Tidak Ada.
Banyak dari para filosof berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan nantinya di alam akhirat adalah rohani semata, sedangkan jasmani (jasad) akan hancur. Maka dari itu, ketika di akhirat nanti, tentang adanya kebahagiaan ataupun kepedihan di sana yang dapat merasakan adalah rohani. Sedangkan jasmani (jasad) merasakan kebahgiaan dan kepedihan hanya saat di dunia saja.
Kesesuaian suasana rohani maka ketika dibangkitkan nanti saat di akhirat bersifat rohani pula. Akan tetapi, kebangkitan jasmani tidak sampai ke akhirat atau dikembalikan. Dalam mengulas alasan-alasan, mereka mengemukakan bahwa pengembalian jasad memiliki tiga kemungkinan. Pertama, manusia terdiri atas badan dan kehidupan, ini sama halnya seperti dikatakan oleh sebagian ulama kalam, sedangkan jiwa berdiri dengan sendirinya dan yang mengatur badan tidak ada wujudnya. Pengertian mati berarti terputus hidup, yakni Tuhan tidak lagi menciptakan hidup, oleh karena itu hidup ini tidak ada, dan badan tidak ada pula. Jadi, arti kebangkitan adalah bahwa Tuhan mengembalikan badan yang sudah tidak ada karena mati kepada wujudnya, dan mengembalikan hidupnya yang sudah tidak ada.
Dalam perkataan lain, badan manusia setelah menjadi tanah dikumpulkan dan disusun kembali menurut bentuk manusia dan diberikan hidup kepadanya. Kedua, atau dikatakan bahwa jiwa (roh) manusia tetap wujud sesudah mati, tetapi badan yang pertama (yang terjadi di dunia ini) nantinya dikembalikan lagi dengan anggota-anggota badannya sendiri dengan lengkap. Ketiga, atau dikatakan, jiwa manusia dikembalikan kepada badan, baik badan dengan anggota-anggotanya yang semula ataupun badan yang lain samasekali. Jadi, yang dikembalikan ialah manusianya, sebab badannya (bendanya) tidak terpenting, sedangkan manusia disebut karena jiwanya (rohnya), bukan karena bendanya (badannya).
Atas dasar ini, para filosof muslim ini berpendapat bahwa mustahil mengembalikan rohani kepada jasad ketika keduanya telah berpisah. Menurut mereka, setelah berpisah antara roh dengan jasad, berarti kehidupan  telah berakhir dan tubuh menjadi hancur. Penciptaan kembali berarti penciptaan baru yang tidak sama dengan yang berlalu. Pengandaian hal ini berarti mengimplikasikan qadimnya suatu hal dan baharunya hal yang lain. Akan tetapi, jika diandaikan terjadi kebangkitan jasad, maka akan menempuh jalan yang sulit dan membutuhkan pemikiran yang panjang, seperti adanya manusia pincang, manusia buta, dan lainnya. Kalau ini yang terjadi maka di surga nantinya akan ada sidat kekurangan dan ada pula satu jiwa dengan dua tubuh atau sebaliknya. Sesungguhnya di surga yang suci tidaklah demikian. Jika demikian terjadilah proses  yang panjang, seperti panjangnya proses kapas hingga menjadi kain.
Menurut al-Ghazali, berdasarkan gambaran al-Qur’an dan al-Hadits Nabi Muhammad SAW. Tentang kehidupan di akhirat bukanlah mengacu pada kehidupan rohani saja. Tetapi pada kehidupan rohani dan jasmani. Jasad dibangkitkan dan disatukan dengan jiwa-jiwa manusia yang pernah hidup di dunia untuk merasakan nikmat surgawi yang bersifat rohani-jasmani. Kehidupan di surga dan neraka yang bersifat rohani-jasmani itu, menurut al-Ghazali, bukanlah kehidupan di surga dan neraka bersifat rohaniah saja, menurut al-Ghazali adalah pemahaman yang mengingkari adanya kebangkitan jasad di hari akhirat. Pemahaman demikian, menurutnya bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh al-Qur’an dan al-Hadits, karena itu dikufurkannya. Al-Ghazali berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan itu adalah jasmani. Ini terbukti dengan perkataannya :
”... adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan seorang Muslim, keyakinan mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani manusia tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi hanya jiwa yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau hukuman itu pun akan bersifat spritual dan bukannya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya, mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat spritual karena hal itu memang ada secara pasti; tetapi secara salah, mereka menolak adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka nyatakan itu.”
Dalam bukunya Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga mengatakan; banyak hadits yang mengatakan bahwa roh-roh manusia merasakan adanya kebaikan atu siksa kubur dan lainnya. Semua ini sebagai indikasi adanya kekekalan jiwa. Sedangkan kebangkitan jasmani secara eksplisit telah ditegaskan dalam syara’, yakni berarti jiwa dikembalikan pada tubuh, baik tubuh semula maupun tubuh yang lain, atau tubuh yang baru dijadikan. Ini dikarenakan tubuh manusia dapat berganti bentuk, seperti dari kecil menjadi besar, kurus menjadi gemuk, dan seterusnya. Namun, hal yang terpenting ada satu tubuh berbentuk jasmani yang dapat merasakan kepedihan dan kebahagiaan. Allah Mahakuasa menciptakan segala sesuatu. dan dengan KeMahakuasaan-Nya tidak merasa sulit bagi-Nya  menjadikan setetes sperma menjadi aneka macam organ tubuh, seperti tulang, daging, kulit, urat saraf, otoit, lemak, dan sebagainya. Dari hasil ini detik berganti menit, menit berganti jam, dan jam berganti hari. Akhirnya menjadi mata, gigi, perasaan yang berbeda antara setiap manusia. Justru itu, Allah jauh lebih mudah mengembalikan rohani pada badan (jasmani) di akhirat ketimbang penciptaan-Nya pertama kali.
Sungguh pertentangan antara al-Ghazali dengan filosof Muslim kalau di kaji secara mendalam, maka pertentangan tersebut hanya sebuah perbedaan Interprestasi  karena bedanya titik pijak. Al-Ghazali seorang teolog al-Asy’ari, ia aktif mengembangkan Asy’arisme selama delapan tahun (1077-1085) pada Universitas Nizhamiyah Baghdad, tentu saja pemikirannya dipengaruhi oleh aliran ini, yakni dengan kekuasaan kehendak mutlak Tuhan dan interprestasinya tidak seliberal para filosof. Sementara itu, pemikiran para filosof Muslim dipengarhui oleh pemikiran rasional, tentu saja interprestasi mereka lebih liberal dari al-Ghazali. Namun, antara kedua pihak sependapat bahwa di akhirat nanti ada kebangkitan.
d.                 Pandangannya terhadap Ilmu
Ilmu merupakan sumber kebutuhan bagi setiap manusia, karena tanpa ilmu manusia akan bodoh dan tidak mengetahui arah hidup dalam prikehidupan. Sebagai seorang ilmuwan besar, Al-Ghazali berupaya membuat sebuah karya-karya tulis yang bersifat memotivasi seseorang untuk selalu menggali ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama. Di dalam karyanya al-Ghazali yang berjudul Ihya Ulum Ad Din yang artinya menghidupkan ilmu-ilmu agama. Ini merupakan sebuah karya al-Ghazali yang banyak dipakai oleh para ulama-ulama kalam sebagai bahan kajian untuk amalan-amalan baik manusia. Karena di dalam buku itu banyak menjelaskan tentang ilmu-ilmu keagamaan Islam, ke-Esaan Allah, dan ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan syari’at.

 Pada karyanya yang lain, dan juga terkenal di tengah masyarakat yang berjudul Al Munqiz min Ad Dhalal Al-Ghazali berpendapat bahwa :
”ilmu hati merupakan konsekuensi logis bagi ilmu-ilmu manusia, karena ada dua alam, yakni alam lahir dan alam bathin. Jika ilmu-ilmu (pengetahuan) menguasai ilmu lahir dengan analisa dan keterangan, maka harus ada ilmu khusus untuk menjelaskan ilmu bathin. Pengetahuan-pengetahuan itu sendiri ada dua, yaitu inderawi dan sufi (lahir dan bathin). Sarana untuk mengenal pengetahuan-pengetahuan lahir adalah panca indera, sedang metoda untuk mencapai pengetahuan-pengetahuan bathin harus kembali kepada mereka (kaum sufi) yang mengatakan bahwa kesederhanaan, zuhud, dan amal-amal praktis seluruhnya adalah jalan untuk mempersepsi berbagai realitas yang tersembunyi dan ilham yang melampaui penglihatan dan pendengaran. Maka ma’rifat adalah tujuan yang luhur bagi tasawuf. Al-Ghazali menentang kesatuan antara manusia dengan Tuhan (teori Al Ijtihad) karena bertentangan dengan ajaran agama.”
Di lain karyanya yang berjudul The Juwels of the Qur’an (mutiara al-Qur’an) dan Mizan Al-Amal (timbangan amal), al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi empat bagian :
1.                        Pembagian ilmu-ilmu menjadi bagian teoritis dan praktis.
2.               Pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan yang dihadirkan (hudhuri) dan pengetahuan yang dicapai (hushuli).
3.                        Pembagian atas ilmu-ilmu religius (sya’iyyah) dan intelektual (aqliyah).
4.                     Pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu fardhu’in (wajib atas setiap individu) dan fardhu kifayah (wajib atas umat).
Di antara empat hal dari klasifikasi ilmu di atas yang telah diuraikannya, yang paling luas di bahas olehnya dalam melakukan pengajaran/diskusi adalah pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu intelektual dan religius. Namun menurutnya, yang jelas keempat sistem klasifikasi di atas sangat absah, dan mempunyai derajat yang sama.
Kalau dilihat pemikiran dari al-Ghazali, maka akan terlihat pendapatnya yang banyak menentang aliran-aliran filsafat. Menurutnya banyak orang-orang yang menyimpang dari ajaran agama saat mempelajari filsafat, karena kebanyakan manusia di saat mempelajari filsafat tanpa sebuah pegangan yang kuat atau dasar yang kuat. Filsafat menurutnya lebih banyak mengedepankan akal daripada dalil untuk mencari sebuah kebenaran. Oleh sebab itu, al-Ghazali banyak dikenal oleh para masyarakat seorang ahli tasawuf, akan tetapi ia tidak melibatkan dirinya kedalam aliran tasawuf yang terkenal saat itu, yakni tasawuf inkarnasi dan tasawuf pantheisme. Sedangkan pengetahuan yang dimiliki oleh al-Ghazali berdasarkan atas rasa yang memancar dalam hati, bagaikan sumber air yang bersih/jernih, bukan dari penyelidikan akal, dan tidak pula dari hasil argumen-argumen ilmu kalam.

Filsafat Tentang Ke Nabian ( Ibnu Sina )

Mengenai pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian, ia berpendapat bahwa Nabi adalah manusia yang paling unggul, lebih unggul dari filosof karena Nabi memiliki akal aktual yang sempurna tanpa latihan atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha dan susah payah. Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal  intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad.
Banyak para filosof yang membuat tingkatan akal menjadi empat bahagian, di antaranya, Al-Farabi, Nashiruddin Ath-Tusi, dan lainnya. kalau diklasifikasikan akal-akal tersebut seperti di bawah ini:
1.                  Akal Materil (al’aklul hayulaani) materil intellect yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit. 
2.                  Intellectus in habitu (al’aklu bilmalakah) yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal abstrak
3.         Akal Aktuil (al’aklu bilfiil) yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak
4.                  Akal Mustafad (al’aklu mustafaadu) acquired intellect) yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak dengan tidak perlu pada daya dan upaya. Akal yang telah terlatih begitu rupa, sehingga hal-hal yang abstrak selamanya terdapat dalam akal yang serupa ini. Akal serupa inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari Akal Aktif (al’aklu fa’aala).

Setelah melihat penjelasan di atas mempunyai empat tingkat dan yang terendah di antaranya ialah ada akal materil atau (al’aklul hayulan). Biasanya akal materil tidak bisa sepenuhnya menangkap hal-hal yang abstrak, namun ketika manusia mempergunakan akal materil ini, Allah menganugerahkan kepada manusia agar akal materil dapat bekerja lebih besar lagi. Dalam hal ini Ibnu Sina memberi nama al-hadas yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materil serupa ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan, dengan mudah dapat berhubungan dengan Akal Aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akhirnya aka ini menjadi tinggi, dan diperoleh bagi manusia-manusia terkhusus pada pilihan Allah mereka yang mendapatkannya adalah para Nab-Nabi Allah.
Jadi wahyu dalam pengertian di atas yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak diragukan lagi karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol-simbol. Namun sejauh mana wahyu itu mendorong? Kecuali kalau Nabi dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya ke dalam suatu struktur sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, Nabi berhak mendapat mendapatkan derajat seorang filosof.
Salah satu ungkapan Ibnu Sina tentang perihala Nabi yakni; Ada wujud yang berdiri sendiri dan ada pula yang tidak berdiri sendiri. Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua. Ada bentuk dan substansi yang tidak berada dalam meteri dan ada pula yang berada dalam materi. Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua, selanjutnya ada hewan yang rasional (manusia) dan ada pula hewan yang tidak rasional (binatang). Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua …selanjutnya ada manusia yang memiliki akal aktual dengan sempurna secara langsung (tanpa latihan, tanpa belajar keras) dan ada pula yang memiliki akal aktual dengan sempurna secara tidak langsung (yakni melalui latihan dan studi), maka yang pertama yakni para Nabi yang lebih unggul daripada yang kedua, yakni para filsuf. Para Nabi berada di puncak keunggulan atau keutamaan dalam lingkungan makhluk-makhluk materi. Karena yang lebih unggul harus memimpin segenap manusia yang diunggulinya.
Menurut Ibnu Sina, seorang Nabi sangat identik dengan akal aktif, dan sepanjang identitas ini masih berlaku, akal aktif itu disebut ‘Aql Mustafad (akal yang telah dicapai). Namun, Nabi manusia tidak identik dengan akal aktif. Dengan demikian, pemberi wahyu dalam satu internal dengan Nabi, dalam hal lain, yaitu sepanjang pengertian pemberi wahyu , yaitu manusia yang eksternal dengannya. Oleh sebab itu, Nabi dalam hal sebagai manusia secara “aksidental” bukan secara esensial, adalah akal aktif (untuk pengertian istilah “aksidental”).

Filsafat Cinta

Filsafat Cinta
Setiap orang pasti pernah pacaran, setidaknya sekali dalam hidupnya. Setiap suami pasti pacaran dulu dengan calon istrinya. Setelah mantap, baru mereka menikah. Kalo tidak mantap, yah putus, dan cari pacar lagi. Saya juga yakin, anda pasti pernah pacaran sebelumnya. Ya kan?
Setiap orang juga tahu, bahwa komponen terpenting dari pacaran adalah cinta. Ya, cinta! Namun, banyak orang kesulitan, ketika diminta menjelaskan, apa itu cinta? Ratusan pemikir dan ilmuwan mencoba mendefinisikan arti kata itu. Namun, tak ada yang sungguh bisa menjelaskannya. Atau, jangan-jangan cinta itu hanya bisa dirasa, tapi tak bisa dijelaskan dengan kata-kata? Bagaimana menurut anda?
Yang saya tahu, cinta itu punya enam komponen. Anggaplah saya punya teori sendiri tentang cinta, semacam filsafat cinta. Enam komponen itu adalah hasrat, kehadiran, komitmen, akal budi, berkembang, dan paradoks. Bingung? Tenang.. saya akan jelaskan satu per satu.
Hasrat
Komponen pertama dari cinta, menurut saya, adalah hasrat. Hasrat adalah keinginan yang membakar hati, dan mendorong kita untuk bertindak. Hasrat adalah sumber dari dorongan hidup manusia, yang membuat kita bangun di pagi hari, dan mulai melakukan aktivitas. Pada saat ini, saya yakin, anda sedang berhasrat untuk membaca tulisan saya. Iya kan? Hayoo ngaku…
Sekitar 50 tahun yang lalu, Jacques Lacan, seorang pemikir asal Prancis, pernah menulis, bahwa manusia adalah mahluk yang berlubang. Hah, berlubang? Bukan berlubang secara fisik, tetapi ia memiliki lubang dalam jiwanya yang terus menuntut untuk diisi. Isinya bisa macam-macam, mulai diisi dengan barang-barang mewah, teman, keluarga, cinta, dan sebagainya. Apakah anda punya lubang semacam itu di hati anda?
Pada hemat saya, Lacan betul. Saya sendiri merasakannya. Bagi saya, lubang dalam jiwa itu adalah sumber dari segala hasrat manusia. Artinya, keinginan dan dorongan hidup manusia berakar pada upaya manusia untuk mengisi lubang yang ada di dalam jiwanya. Saya menyebutnya sebagai “rumah hasrat”. Menarik bukan?
Saya pernah jomblo (ga punya pacar) cukup lama. Rasanya hampa. Hati kosong. Malem Minggu sepi. Mau curhat (curahan hati), tapi ga ada yang bisa diajak curhat. Akhirnya, di dalam hati muncul keinginan (hasrat) untuk mencari pacar lagi. Mirip seperti lagunya ST12 yang sempat terkenal, “cari pacar lagi…”
Setelah bergaul dan membuka lingkungan pergaulan baru (anak gaul nih ceritanya), saya pun mendapatkan pacar baru. Hati senang. Namun, itu tak lama. Si lubang (rumah hasrat) dalam diri kembali berteriak-teriak. Saya ingin pacar saya seperti ini, seperti itu. Tidak cocok. Putus lagi. Hampa lagi. Sedih lagi… hiks…
Dugaan saya, anda pun pernah mengalami seperti itu. Ga pacaran kesepian, tapi pacaran justru pusing dan repot. Manusia memang tak pernah puas, karena ia punya lubang hasrat di dalam dirinya yang menuntut untuk terus diisi, tanpa pernah sungguh penuh terisi. Artinya, kita seumur hidup selalu dibayangi oleh kecemasan untuk memenuhi hasrat kita. Tul ga?
Kata ajaran Buddha, lubang ini bisa dilenyapkan, dan manusia lalu bisa sampai pada kedamaian sempurna. Ajarannya kelihatan baik. Namun, menurut saya, justru hasrat ini yang membuat kita ini manusia, yang membuat kita ini hidup. Kalau dihilangkan, lalu kita ini apa namanya? Tidak tahu. Yang pasti bukan manusia. Robot? Mayat hidup? Hiii… Tidak bermaksud menghina ya. Bagaimana pendapat teman-teman yang mendalami ajaran Buddha?
Oke.. oke.. kembali ke tema utama. Jadi pada hemat saya, salah satu komponen utama cinta adalah hasrat, dan hasrat itu sudah selalu ada dalam diri manusia, apapun agama, ras, ataupun etnisnya. Hasrat yang mendorong kita untuk mencintai, pacaran, menikah, punya anak, dan sebagainya. Hasrat yang mendorong kita untuk hidup. Tanpa hasrat, kita bagaikan mayat hidup berjalan. Udah ah.. jangan ngomong mayat-mayat lagi.. serem…
Kehadiran
Komponen kedua, menurut saya, adalah kehadiran. Cinta itu butuh kehadiran, baik kehadiran fisik, maupun kehadiran hati. Orang yang mencintai harus “hadir” dengan seluruh dirinya untuk yang dicintai, untuk menemani, membantu, dan berjalan bersama dengan orang yang dicintainya. Kalo tidak hadir, maka apa gunanya pacaran, apa gunanya mencintai? Itu sama saja dengan “tidak mencintai” atuh. Ya kan?
Makanya, saya selalu kagum dengan orang-orang yang bisa pacaran jarak jauh, apalagi suami istri yang berhubungan jarak jauh. Kehadiran fisik hanya mungkin pada saat-saat tertentu saja, seperti pada saat liburan atau cuti. Yang mengikat mereka adalah kehadiran hati. Artinya, tubuhku jauh, tapi hati dan pikiranku bersamamu. Romantis ya? Cihuy…
Saya sering melihat, ada orang pacaran, tapi yang satu sibuk main Blackberry, yang satu sibuk main notebook. Mereka tidak bicara. Mereka tidak saling menatap. Lah, apa gunanya ketemu? Mereka pacaran, tetapi mereka tidak hadir untuk satu sama lain. Apa itu namanya? Temannya juga bukan pasti. Apakah anda seperti itu juga?
Saya juga sering marah, kalau berjumpa dengan teman, tetapi ia sibuk main Blackberry. Fisiknya ada di depan saya, tetapi perhatiannya entah kemana. Saya merasa diabaikan, ga dianggap manusia, tetapi cuma dianggap benda saja. Siapa yang tidak marah, kalau diperlakukan seperti itu?
Melihat itu semua, saya janji pada diri saya sendiri, bahwa saya akan memberikan perhatian penuh pada orang lain, jika mereka berbicara kepada saya. Saya tidak sibuk main BB, main notebook, atau main apapun. Saya akan mendengar, dan menanggapi, kalau diminta. Semoga janji saya ini juga bisa menginspirasikan anda untuk membuat janji yang sama kepada diri anda sendiri. Semoga….
Jadi intinya, orang pacaran itu harus punya cinta, dan cinta itu tandanya adalah kehadiran, baik kehadiran badan, hati, maupun pikiran. Tanpa kehadiran, pacaran itu cuma basa-basi, formalitas, atau sekedar menaikan status sosial. Kalau itu yang terjadi, semuanya jadi sia-sia. Kita jadi orang dangkal yang tak punya idealisme. Jangan jadi seperti itu ya… plis..
Komitmen
Komponen ketiga dari cinta, menurut saya, adalah komitmen. Komitmen adalah kesetiaan pada janji. Bukan hanya setia, tetapi janji itu dijalankan, ditepati, sampai sedetil-detilnya, dan jangan ditawar-tawar, kalau sudah disepakati. Ya ga?
Kok otoriter banget? Ga juga. Diskusi dan debat itu boleh dilakukan, sebelum janji dibuat. Tetapi ketika janji sudah disepakati, yah jangan ditawar lagi untuk membenarkan pelanggaran. Itu ndablek namanya. Hehehe…
Suatu saat, janji bisa berubah. Namun, sebelum janji berubah, harus ada pembicaraan dulu yang intensif, yang sering. Jangan tiba-tiba, salah satu pasangan ingin mengubah perjanjian, lalu semua berubah seenaknya. Yang penting, ketidaksepakatan itu dibicarakan. Bicara donk… jangan diam saja…
Saya sendiri juga bukan orang yang selalu tetap janji. Saya pernah melanggar janji. Tapi, saya sadar, dan kemudian berubah. Niat berubah pun belum tentu mengubah tindakan. Butuh waktu lama, sebelum niat sungguh menjadi kenyataan. Beberapa kali, saya dimarahi atau ditegur oleh pacar saya, karena tidak tepat janji. Maklum, namanya juga manusia. Yang penting kan ga diulangi lagi… hehehe..
Saya juga pernah punya pacar yang janjinya banyak, tetapi sering banget dilanggar. Akhirnya, kita berantem terus. Hubungan bukan lagi menjadi hiburan dan penguat, tetapi justru menjadi beban yang memberatkan. Susah kalo kita punya hubungan seperti ini. Bagaimana dengan kisah anda?
Pokoknya, cinta itu harus diikat dengan komitmen, baru sungguh menjadi cinta sejati yang menjadi penguat kehidupan, dan sumber kebahagiaan. Cinta tanpa komitmen itu seperti sambal tanpa cabe, artinya yah bukan sambal sama sekali. Ga ada gunanya. Masing-masing cuma menipu diri. Kita tidak hanya menipu orang lain, dengan mengaku mencintai dia, tetapi juga menipu diri sendiri. Kasiaaan banget….
Akal Budi
Cinta juga harus pake akal. Jangan mencintai secara gila-gilaan, sehingga ditipu pun tidak sadar. Orang yang mencintai juga harus tahu batas, kapan dia bisa memanjakan kekasihnya, memarahinya, atau meninggalkannya. Cinta tidak boleh buta. Duh.. hari gini, tetap saja masih ada orang yang mencintai secara buta, sehingga semuanya dikorbankan, termasuk uang, keluarga, dan sebagainya. Jangan jadi seperti itu ya…
Saya pernah punya teman perempuan. Ia amat mencintai suaminya. Apapun keinginan suaminya pasti dituruti. Gaya hidup mereka mewah, sementara pendapatan tak seberapa. Ketika situasi keuangan menurun, hubungan mereka krisis, dan pecah. Teman saya amat sedih dan patah hati. Ternyata, suaminya hanya mau dimanja, tetapi tidak mau hidup sulit bersamanya. Duh.. anda jangan sampai seperti itu ya…
Beberapa orang bilang, bahwa saya orang yang kejam. Di mata mereka, saya tuh pelit kalau pacaran. Kalau bikin perjanjian tuh tepat banget, sampe keliatan ga manusiawi. Pembelaan saya cuma satu, saya cuma ga mau memanjakan pasangan saya. Saya ingin mereka mandiri, dan tak tergantung secara emosional pada saya. Jahat ga sih begitu?
Saya juga dibilang sok-sok rasional. Itu sih tidak masalah, karena memang prinsip saya tetap sama, yakni pacaran dan cinta pun harus menggunakan akal. Jangan sampai kita diperas, karena cinta. Jangan sampai kita ditipu, karena cinta. Cinta tidak boleh membuat mata kita gelap dari kenyataan. Setuju ga? Hidup cinta.. hidup akal! Hush.. lebai..
Berkembang
Cinta sejati itu mengembangkan. Saya setuju dengan prinsip ini. Orang yang saling mencintai ingin pasangannya lebih baik, lebih pintar, lebih bijak. Hubungan mereka menjadi dasar untuk mengembangkan diri seutuhnya. Setuju?
Namun, ada kalanya upaya mengembangkan diri itu mengancam hubungan. Misalnya, istri dapat promosi di luar kota, dan harus meninggalkan keluarganya. Sementara, si suami merasa, bahwa urusan di rumah terlalu banyak untuk diurusnya sendiri, maka ia tidak setuju dengan rencana itu. Lalu bagaimana?
Saya rasa, tidak ada rumus universal untuk masalah itu. Yang perlu diperhatikan adalah prinsip berikut, semua keputusan yang dibuat harus didasarkan pada pembicaraan yang matang, egaliter, dan bebas dominasi antara semua pihak, yang nantinya terkena dampak dari keputusan itu. Proses ini menjamin, bahwa keputusan yang dibuat itu adil untuk semua pihak. Setujukah anda?
Berkembang juga harus tahu batas. Jangan sampai perkembangan diri justru malah menghancurkan hubungan. Percayalah, kesuksesan tidak ada artinya, kalau anda tidak punya orang yang bisa diajak untuk berbagi kesuksesan itu. Kebahagiaan itu bersifat sosial, dan tidak pernah bersifat semata individual. Orang yang paling berbahagia di dunia ini adalah orang yang paling banyak berbagi. Percaya tidak?
Saya punya seorang teman. Dia amat sabar, dan baik. Istrinya amat ambisius, dan sukses dalam karirnya. Pendapatan istrinya jauh lebih tinggi dari pada dia. Mereka hidup bahagia. Anaknya dua. Teman saya amat mendukung karir istrinya. Sementara, istrinya juga tahu batas, dan tak pernah mengorbankan keluarga. Saya tidak bilang, bahwa mereka keluarga sempurna. Namun, saya yakin, keluarga itu bisa menanggapi semua masalah kehidupan dengan baik, sebesar apapun masalah itu. Bagaimana pengalaman anda?
Paradoks
Esensi terdalam cinta, menurut saya, adalah paradoks. Paradoks itu artinya dua hal yang bertentangan, namun bisa menyatu, dan menciptakan sesuatu. Misalnya, anak itu sekaligus benci dan cinta pada ayahnya, atau orang itu sekaligus lembut dan keras pada saat bersamaan. Intinya, dua hal yang bertentangan justru bisa menyatu secara harmonis. Semoga anda tidak bingung ya..
Cinta pun juga paradoks. Di dalamnya, orang bisa merasakan benci dan sayang pada waktu yang sama. Cinta juga bisa bertahan, jika orang tidak terlalu mengikat pasangannya. Justru dengan melepas orang yang disayangi, maka cinta akan bertumbuh. Sebaliknya, dengan diikat, orang yang dicintai justru akan pergi. Apakah anda punya pengalaman seperti itu?
Kalau kata orang dulu, mencintai itu seperti menggengam pasir. Semakin kita kuat menggengam, semakin cinta itu jatuh. Sebaliknya, jika kita menggenggam dengan santai, maka pasir/cinta itu akan tetap di tangan kita. Jadi, cinta itu memang mirip pasir. Pasir adalah bahan dasar bangunan material, sementara cinta adalah bahan dasar bangunan spiritual. Romantis ya?
Di dalam cinta, semakin kita memberi, semakin kita akan mendapatkan. Semakin banyak kita berkorban, semakin kita akan memiliki banyak. Semakin kita mencintai, semakin kita akan dicintai. Namun, seperti prinsip di atas, prinsip akal budi tetap harus dipakai. Yang pantas-pantas saja dilakukan sebagai manusialah.